“Keinginan agar orang mengetahui keistimewaanmu, sebagai bukti bahwa engkau tidak jujur dalam ibadahmu."
اِسْتِشْرَافُكَ اَنْ يَعْلَمَ الْخَلْقُ بِخُصُوْ صِيَّتِكَ دَلِيْلٌ عَلَى عَدَمِ صِِدْقِكَ فِى عُبُوْدِيَّتِكَ٠
Kekhususan (keistimewaan) yang dianugerahkan Allah untuk makhluk-Nya seperti manusia, adalah pemberian yang sangat khusus dalam ibadah berupa ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, hendaklah dijalankan hanya semata-mata mencari rida Allah. Apabila masih ada orang yang berilmu, beramal dan beribadah ingin diketahui atau dipuji orang, adalah satu bukti bahwa ibadah orang itu tidak benar, tidak jujur, dan berarti seorang hamba tidak menunjukkan kesungguhannya dalam melakukan ibadah kepada Allah swt.
Orang inipun karena perasaan dan keinginannya itu tidak mempunyai rasa malu kepada Allah dan tidak bersyukur pada Allah atas pemberian keistimewaannya itu.
Dalam salah satu kabar yang disebutkan bahwa Nabi Isa a.s. pernah bersabda: "Apabila engkau berpuasa, minyakilah rambutmu dan basahilah bibirmu. Sebab, apabila manusia melihatmu, mereka mengira engkau tidak berpuasa. Jika engkau bersedekah, berilah dengan tangan kananmu dan sembunyikanlah tangan kirimu. Apabila engkau tutuplah tabir rumahmu, sebab Allah swt telah membagi puji -pujian sebagaimana ia telah membagi rezeki."
Para Hukama ditanya tentang tanda-tanda orang jujur, mereka menjawab, ialah yang menyembunyikan ketaatan agama mereka (tidak suka memamerkan amal ibadah). Siapa yang mau melihat kebaikan amal ibadahnya, maka janganlah ia mencampurkan kehendak lain dalam ibadahnya.
Berkata pula Syekh Abdullah Al Qurasyi, "Siapa yang tidak puas dengan pemberian Allah, maka ia telah termasuk orang yang riya’ dengan perbuaian lain yang sama dengan itu. Demikian juga para hukama lainnya seperti Sahal Al Qurasy bahwa termasuk orang yang ghafil adalah mereka yang suka dikenal sesama manusia daripada dikenal oleh Allah. Abui Khair Aqta menjelaskan bahwa orang yang suka amal ibadahnya dikenal manusia, termasuklah dalam perbuatan riya'. Siapa pula yang ingin kekhususannya di ketahui orang, maka ia tergolong pendusta.
Orang yang terkenal dan disanjung manusia, maka ia telah membelenggukan dirinya dalam kehidupan dan kebiasaan manusia. Sedangkan orang yang berharap rida Allah semata, maka Allah juga yang menentukan amal ibadahnya.
Orang mukmin yang sebenarnya adalah lebih mengutamakan pandangan dan penilaian Allah kepadanya daripada penilaian sesama manusia. Allah swt mengisyaratkan dalam Al Qur'anul Karim surat Fusshilat ayat 53, "Apakah belum cukup Allah sswt yang menyaksikan (menilai) segala sesuatu yang kalian amalkan?"
Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. berkata, "Ada orang yang beribadah di antara kalian, ia sangat merahasiakan dirinya, amal dan ilmunya. Apabila ia duduk bersama kaumnya (padahal ia orang beeilmu), tidak ada yang mengetahui keadaannya. Mereka menyembunyikan dirinya dari amal ibadah mereka, baik yang dapat dilihat atau dapat di dengar oleh manusia dalam ibadah-ibadah mereka."
Syekh Ataillah mengemukakan:
غَيِّبْْ نَظَرَ الْخَلْقِ اِلَيْكَ بِنَظَرِ اﷲِ اِلَيْكَ وَغِبْ عَنْ اِقْبَالِهِمْ عَلََيْكَ بِشُُهُوْدِ اِقْبَالِهِ عَلَيْكَ٠
“Jangan engkau tampakkan (gaibkan) pandangan manusia atas dirimu dengan (penutup) penglihatan Allah untukmu. Alihkan pula perhatian manusia kepadamu dengan persaksian Allah yang dihadapkan kepadamu."
Hilangkan penglihatan manusia kepadamu, karena adanya perhatian yang di hadapkan Allah untukmu. Allah swt. telah memberikan perhatian kepada hamba-hamba-Nya, dengan memberi kenikmatan secara batiniyah dengan bermacam-macam ibadah, demikian juga lahiriyah dengan kebutuhan jasmani yang cukup. Perhatian Allah yang besar ini kepada para hamba janganlah membuat manusia lebih suka mendapat pujian dan sanjungan dari sesamanya daripada mengharapkan perhatian Allah, dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan- Nya. Menghindarkan diri dari kemurkaan Allah dan mencari rida-Nya.
Dalam beribadah, hendaklah para hamba lebih mementingkan penilaian Allah sendiri, dan menghindari kehendak untuk dmendapatkan popularitas di tengah manusia. Padahal selain Allah juga banyak memperhatikan kebutuhan lahir batin manusia, Allah swt tetap memperhatikan sikap terjang manusia, yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu manusia hendaknya lebih menitik beratkan perhatian dan penilaian dari Allah semata. Mengharapkan perhatian manusia dalam ibadah adalah perbuatan riya' yang menimbulkan ujub, termasuk perbuatan yang sia-sia. Sebab semua yang datang dari manusia sangat terbatas. Termasuk pujian dari manusia. Adalah sangat bodoh mengharapkan sanjungan manusia, karena selain terbatas juga sementara.
Sahal bin Abdullah menjelaskan: Tidaklah seorang hamlu mencapai hakikat kewaliannya dalam perkara tertentu sehingga ia sendiri dapat melenyapkan pandangan manusia, dan memandang dunia sebagai suatu yang begitu menakjubkan. Sebab dunia dan manusia tidak mampu menghindarkan manusia dari keuntungan ataupun kerugiannya. Atau memberikan ketaatan dan melenyapkan kedurhakaan. Hanya orang bodoh saja yang sangat berharap dan kuatir dengan perkara - perkara duniawinya.
Dalam suatu hikayat yang dinukilkan dari kisah Luqman Al Hakim ketika ia menasihati anak-anaknya. Luqman mengajak anaknya itu masuk ke suatu pasar dengan berkendaraan keledai. Luqman di atas keledai dan anaknya sebagai penuntunnya. Orang banyak ketika melihat Luqman di atas kendaraannya mencela perbuatan itu, mereka mengatakan Luqman sangat kejam. Anaknya disuruh menuntun, dia sendiri enak-enak di atas kendaraannya. Ketika ia meminta kepada anaknya agar naik ke atas hewan tersebut, dan Luqman yang menuntunnya, orang banyak pun mencela anak itu, seperti mereka mencela Luqman. Sekarang Luqman dan anaknya yang berada di atas punggung keledai itu, mereka mencela pula dengan mengata - ngatai Luqman dan anaknya tidak menaruh belas kasihan kepada binatang yang lemah. Akhirnya keduanya (bapak dan anak) sama-sama menuntun hewan itu. Akan tetapi ketika berjumpa dengan orang banyak, mereka mencemooh dengan membodohkan Luqman dan anaknya. Bodoh benar kedua orang ini, memiliki tunggangan hanya di tuntun.
Tujuan Luqman sebenarnya mengajak anaknya masuk pasar, adalah untuk mendidiknya, ia berkata, "Ketahuilah wahai anakku: orang beramal dan beribadah, apabila hanya ingin mengikuti atau mengambil hati orang banyak, maka amal ibadahnya itu pasti tidak terhindar dari kecaman dan cemoohan manusia."
Itulah i'tibar hidup. Janganlah seseorang terpengaruh dengan omongan atau kritik masyarakat, karena tidak semua yang datang dari masyarakat itu baik adanya. Kebanyakan masyarakat hanya melihat sesuatu yang lahir belaka. Dari segi lahir inilah masyarakat biasa memuji atau mencela sesama manusia, tanpa mengetahui apa sebenarnya di balik suatu peristiwa.
Berkata pula Muhammad bin Aslam dalam salah satu nasihatnya, “Sesungguhnya aku tidak terlalu memerlukan kepada manusia. Sejak dari sulbi ayahku sendiri. Waktu di dalam rahim ibuku pun aku sendirian, waktu keluar dari rahim ibu aku juga sendiri. Ketika maut datang menjemputku pun aku sendiri, lalu menghadap soal kuburan aku sendirian. Ketika Allah swt memasukkan aku ke surga atau ke neraka pun aku sendiri. Maka apapula kebutuhanku dengan orang banyak?
Al Haris bin Asad Al Muhasaby, ketika ia ditanya siapakah yang disebut orang ikhlas itu? Orang yang ikhlas itu adalah orang yang tidak menghiraukan penilaian manusia, asal saja Allah telah menilai baik dan meridainya, serta tidak ada manusia yang mengetahui amal kebaikannya walaupun sekecil-sekecilnya. Orang ikhlas inipun tidak kuatir kalau sebagian orang mengetahui perbuatan-perbuatan jeleknya. Sebab, jikalau ia takut perbuatan jeleknya diketahui orang banyak, berarti ia menginginkan puji sanjung dari amal-amal yang baik-baik. Hal ini bukan bagian dari amal orang-orang yang ikhlas.
Itulah sifat-sifat mulia yang perlu dimiliki oleh para hamba yang jujur dan ikhlas hati. Sebab sifat-sifat inilah yang akan menghantarkan hamba - hamba Allah kepada tingkat makrifat orang-orang salihin dan siddiqin.