Bolehkah Istri Bersedekah Pada Ibunya Tanpa Izin Suami?

Al-Bukhari mengatakan, pada Bab Seorang wanita memberi kepada Ibunya Sedangkan ia memiliki suami." Penyusunan bab yang dilakukan olehnya sebagaimana yang telah kita ketahui mengikuti cara ini. Kadang-kadang ia membuat bab yang tidak jelas sehingga ia meninggalkan memberikan jawaban kepada ahli ilmu. Terkadang ia mengambil suatu hadits yang tidak memenuhi persyaratannya, lalu ia menjadikannya sebagai sebuah bab. Terkadang ia membagi beberapa hadits dari hadits-hadits shahih lalu ia menjadikannya sebagai bab. Dalam kesempatan yang lain ia melontarkan pertanyaan dan membiarkan Anda tidak mendapatkan jawaban sehingga pandangan Anda sendiri yang melakukan-nya. Ini menunjukan kecerdasan, kecerdikan, dan pemahamannya. 

Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad yang lain dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya yang menyebutkan bahwa Asma' mengatakan: Aku didatangi oleh ibuku, seorang yang masih musyrik di masa Quraisy—karena mereka membuat perjanjian dengan Nabi saw—lalu aku bertanya kepada Nabi saw, "Ibuku mendatangiku dengan mempunyai keinginan. Bolehlah aku memberi kepadanya?" Beliau menjawab, "Ya, berilah ibumu.( Telah disebutkan takhrij-nya )" 

Di dalam hadits ini terdapat beberapa masalah: 

Asma' adalah putri Abu Bakar dan saudara dari 'Aisyah. Ia seorang yang memiliki dua ikat pinggang di dalam surga. Ia ibu dari Abdullah bin az-Zubair. Suaminya, az-Zubair, adalah salah seorang sahabat setia Rasulullah. 

Ucapannya, "Ibuku datang ketika ia dalam keadaan musyrik di masa Quraisy." Ini dalam riwayat al-Laits. Sedangkan dalam riwayat al-Humaidi tidak ada konteks demikan. Ibn Hajar mengatakan, "Ini dari riwayat al-Laits dan hanya ia sendiri yang meriwayatkannya." 

Ia mengatakan, "Ibuku datang ketika masih dalam keadaan musyrik di masa Quraisy. Tampaknya—bahkan Insya Allah ini benar—ibunya adalah bukan ibu 'Aisyah. Jadi, ia saudara sebapak dengan Aisyah. Asma' wafat dalam usia lanjut setelah ia melakukan umrah setelah terjadi pembantaian yang dilakukan oleh al- Hajjaj. Ia pernah dipanggil oleh al-Hajjaj dengan kasar dan keras di Mekkah. Al-Hajjaj juga berbicara kasar kepadanya sehingga Asma' mengatakan, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Akan muncul dari Tsaqif seorang pendusta dan seorang pembantai.( Di-takhrij-kan oleh al-Humaidi dalam Musnadnya (nomor 328). Lihat Majma’ az-Zawaid (nomor 78021))' Si pendusta kita telah tahu, sedangkan si pembantai adalah engkau." Pendusta yang dimaksud adalah al-Mukhtar bin Ubaid ats-Tsaqafi, sedangkan sang pembantai adalah al-Hajjaj. Ia takut kepada Asma' mengingat kedudukannya yang tinggi di dalam Islam. 

Asma' mengatakan, "Di masa Quraisy." Artinya, pada masa perjanjian yang mereka buat dengan Rasulullah di Hudaibiyah. Di antara item-itemnya adalah sebagai berikut: Perang dihentikan selama sepuluh tahun antara pihak Rasulullah dengan pihak Quraisy. Apabila datang seseorang dari kaum Quraisy ke tempat Rasulullah dan masuk Islam maka beliau harus mengembalikannya kepada kaumnya. Sedangkan apabila salah seorang dari kaum Muslim datang ke pihak Quraisy, maka pihak Quraisy tidak mengembalikannya. Tampaknya perjanjian ini merugikan pihak Rasulullah. Karena itu, Umar mengeluh terhadap perjanjian ini dan terhadap sikap beliau yang menerimanya, padahal ada syarat-syarat yang tampaknya merugikan kaum Muslim. Umar tidak me-ngerti kemenangan yang berada di belakang perjanjian ini. Kemudian ia bertobat dan memohon ampun karena menentang Rasulullah dalam hal itu.

Maka datanglah ibu yang musyrik tadi ke tempat Asma' ini. Di dalam hadits ini terdapat beberapa masalah: 
  • Apakah seorang istri harus meminta izin kepada suaminya apabila ia ingin bersedekah. 
  • Apakah seorang wanita boleh memberi kepada ibunya yang masih musyrik. 
  • Apakah jawaban Rasulullah merupakan kaidah umum bagi setiap kejadian seperti ini? Ini akan kita ketahui di dalam hadits ini, insya Allah. 
Pertama, hadits ini menunjukkan bahwa Asma' tidak meminta izin kepada suaminya, karena suaminya masih hidup, yaitu az- Zubair, dimana ia tidak menyebut suaminya di dalam hadits ini. Ia pergi menjumpai Rasulullah untuk meminta fatwa kepada beliau. Lalu beliau memberikan fatwa kepadanya bahwa ia boleh memberi kepada ibunya. Beliau juga tidak mengharuskannya untuk meminta izin kepada suaminya. Hukum yang dapat diambil adalah bahwa seorang wanita boleh menginfakkan hartanya tanpa izin suaminya dengan tidak merusak harta suaminya itu. Ia berhak bersedekah serta memberikan nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits Hindun binti Utbah dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwasanya ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan— yakni suaminya—seorang yang sangat bakhil. Apakah aku berdosa jika aku memberikan nafkah kepada diriku dan anak-anakku?" "Rasulullah menjawab, "Ambillah engkau dan anak-anakmu dengan ma'ruf.( Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari (nomor 5237, 5243), Muslim (nomor 4433, 4434).)" 

Kedua, seorang wanita boleh memberi kepada ibunya yang masih musyrik Ini termasuk dalam firman Allah, "Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik."(QS. Luqman: 15) Sebagian ulama mengatakan bahwa itu adalah apabila orang musyrik tersebut ingin masuk Islam. Pada ucapan Asma', "Ia datang kepadaku dengan memiliki keinginan," ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah keinginan untuk masuk Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah keinginan untuk mendapatkan harta. Baik keinginan ibunya itu untuk masuk Islam atau untuk mendapatkan harta, ternyata ia menginfakkan hartanya padanya. Rasulullah saw telah mengakuinya berdasarkan apa yang beliau pahami dari pertanyaan tersebut. Asma' mengatakan, "Aku meminta fatwa kepada Nabi dengan mengatakan, 'Sesungguhnya ibuku datang dengan memiliki keinginan,' dan beliau mengetahui bahwa ibu Asma' adalah seorang musyrik." 

Di dalam hadits yang pertama, yaitu hadits al-Humaidi, Asma' bertanya, "Apakah aku boleh memberinya?" Beliau menjawab, "Ya, berikanlah ibumu." 

Ini termasuk perbuatan baik, apakah ia datang dengan memiliki keinginan atau datang dengan tidak memiliki keinginan mendapatkan kebaikan. Apabila ia datang dengan memiliki keinginan untuk masuk Islam, maka hal itu lebih patut lagi. 

Sebanding dengan itu adalah memberi kepada kerabat walaupun jauh kekerabatannya apabila ia memiliki keinginan untuk masuk Islam. Demikian pula seorang yang diseru apabila ia orang jahat dan berpaling dari Allah tetapi memiliki keinginan untuk istiqamah, atau seorang kafir yang memiliki keinginan untuk masuk Islam. Dalam kasus-kasus demikian, Anda boleh memberinya harta sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah kepada orang-orang kafir Arab di mana beliau memberikan kepada mereka seratus unta, sehingga mereka ingin masuk Islam. Lalu mereka masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Inilah masalah-masalah hadits tersebut. 

Dari masalah-masalah ini dapat diketahui bahwa al-Bukhari mengambil hal-hal yang bersifat umum dan ini suatu kaidah. Ia lebih banyak mengambil yang umum ketimbang yang khusus, ia lebih banyak mengambil yang mutlak daripada yang muqayyad. Ilal itu diseebutkan oleh pengarang kitab Tawjih al-Qari dengan mengutip dar i Ibn Hajar dalam kitabnya, Fath al-Bari. 

Al-Bukhari meriwayatkan dari Ubaidillah bin Utbah dari Ibn ‘Abbas bahwa Abu Sufyan memberitahu kepadanya bahwa Abu Sufyan memberitahu kepadanya bahwa Heraclius mengirimkan utusan kepadanya seraya bertanya, "Apa yang ia perintahkan?" Ia menjawab, "Ia menyuruh kami melakukan shalat, memberikan sedekah, dan menjaga diri." 

Al-Bukhari memasukkan hadits ini secara umum. Kisah Abu Sufyan bersama Heraclius terdapat di awal-awal hadits. Mudah- mudahan Allah merahmati Abu Sufyan. 

Yang menjadi sebab kisah ini adalah bahwa setelah Nabi saw membuat perdamaian dengan kaum kafir dalam sebuah perdamaian tertulis, Abu Sufyan pergi hingga sampai ke Syam untuk berdagang di sana. Suatu saat Heraclius bermimpi bahwa keraja- annya akan runtuh oleh sebuah bintang, yaitu bintang khitan. Maka di pagi harinya ia bertanya kepada menteri-menterinya, "Bangsa mana yang berkhitan?" Ia bertanya demikian karena merasa bahwa bangsa yang berkhitanlah yang akan meruntuhkan kerajaannya. Di kemudian hari bangsa Arab yang telah masuk Islam itulah yang membinasakan kerajaannya, membawa kebaikan, dan menghancurkan eksistensinya. Dengan pasukan besar yang mengusung kalimat laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, Khalid bin al-Walid meluluhlantakkan singgasananya. 

Mereka (para menteri dan pendeta-pendetanya) menjawab bahwa bangsa yang berkhitan adalah bangsa Arab. Sedangkan kaum Yahudi maupun kaum Nasrani tidak berkhitan; kaum Majusi pun tidak. 

Heraclius lalu bertitah, "Pergilah kalian ke pasar. Bawakan aku orang-orang Arab biar aku bertanya kepada mereka tentang nabi yang muncul di Mekkah." Maka pergilah mereka. Ketika itu di pasar mereka menjumpai musuh Rasulullah, Abu Sufyan sedang berdagang. Mereka pun bertanya, "Engkau orang Arab?" 'Ya, aku orang Arab," kata Abu Sufyan. Kemudian Abu Sufyan dan orang-orang yang bersamanya diambil paksa oleh mereka. Mereka naikkan orang-orang itu ke atas kuda-kuda lalu mereka bawa pergi sampai dibawa ke tempat Heraclius. Ia seorang raja besar yang mempunyai pendeta-pendeta dan menteri-menteri. Ia pun mempunyai pasukan, para pengawal, dan persenjataan. 

Heraclius berbicara dengan Abu Sufyan didampingi seorang penerjemah. "Tanyakanlah kepada mereka, siapakah di antara mereka yangnasabnya paling dekat dengan Nabi itu, “kata Heraclius kepada penerjemah. Abu Sufyan pun menyahut, "Akulah yang paling dekatnya nasabnya dengan Muhammad." Benar apa yang dikatakan oleh Abu Sufyan. Dia dan Rasulullah saw memang masih sepupu, tetapi Rasulullah lebih mulia nasabnya dibandingkan dia. Beliau dari Bani Hasyim sedangkan Abu Sufyan dari Bani Abdu Syams. 

"Dekatkanlah dia dengan aku," kata Heraclius memberi perintah. Maka Abu Sufyan pun mendekat. Lalu ia menyuruhnya duduk, sedangkan para menteri dan pendeta-pendetanya berada di kiri kanannya. "Katakanlah kepadanya bahwa aku akan bertanya kepadanya tentang Muhammad. Karena itu, janganlah dia berbohong kepadaku. Apabila dia berbohong, katakanlah bahwa ia berbohong biar aku mendengarnya," begitu kata Heraclius lagi kepada penerjemah. Abu Sufyan berkata, "Seandainya berbohong tidak berpengaruh terhadapku niscaya aku akan berbohong karena ia musuh." Ketika itu Abu Sufyan masih musyrik, belum masuk Islam. 

Setelah mereka (para pengawal Heraclius) menyuruh orang- orang Arab itu duduk di belakang Abu Sufyan, mulailah pertanyaan- pertanyaan diajukan. Ada yang mengatakan bahwa ada tujuh pertanyaan yang dilontarkan dan ada pula yang mengatakan delapan. Heraclius bertanya tentang nasabnya; apakah di antara orang- orangtuanya (nenek moyangnya) ada yang menjadi raja? Bagaimana perang bersamanya? Apakah mereka yang mengikutinya orang-orang terpandang ataukah orang-orang yang lemah? Apakah ada orang yang telah masuk ke dalam agamanya kembali lagi (keluar lagi)? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, di samping yang lain-lainnya. 

Lalu mulailah Abu Sufyan menjawab dengan jawaban-jawaban yang jelas. Setelah selesai, Heraclius memberitahukan bahwa Nabi saw akan menang dan akan menguasai kedudukannya. Benar saja, beberapa tahun kemudian Rasulullah saw dapat menggusur kedudukannya. Setelah itu Heraclius menyuruh agar Abu Sufyan dan orang-orang yang bersamanya dikeluarkan. Abu Sufyan menuturkan, "Kami mendengar bermacam-macam suara dan kegaduhan yang luar biasa di istana.( Di-takhrij-kan oleh al-Bukhari dalam riwayat yang panjang (nomor 7), Muslim (4562).)'" 

Yang menjadi petunjuk bagi hadits tersebut di atas adalah apa yang terkandung dalam pertanyaan-pertanyaan ini, yaitu ucapan Heraclius kepada Abu Sufyan, "Apa yang ia perintahkan kepada kalian?" Abu Sufyan menjawab, "Ia menyuruh melakukan shalat, bersedekah, menjaga kesucian diri, dan memberi kepada orang." Yang menjadi petunjuk (bukti) bagi al-Bukhari adalah kata-kata memberi kepada orang. Memberi di sini bersifat mutlak, baik kepada kaum Muslim maupun kepada orang-orang non-Muslim, karena menjalin hubungan itu (dalam hal ini dengan perilaku memberi) memang ada dasarnya di mana al-Bukhari mengambilnya dari hadits ini.