Orang yang Tidak Menikah

Meninggalkan Nikah Seseorang yang tidak menikah padahal sebenarnya ia mampu dan telah memenuhi semua faktor anjuran (sebab-sebab nikah) maka dikategorikan penyelewengan terhadap fitrah dan menjauhkan diri dari kebenaran. Dengan menikah, Allah SWT telah memberikan satu tangga kepada manusia dan memfitrahkannya kembali. Karena itu, tidak bisa dianalogikan atas orang yang meninggalkan nikah yang digolongkan sebagai orang yang telah menyimpang dari kebenaran yaitu, fitrah yang benar. Karena setiap kaidah pasti ada pengecualiannya. 

Sofyan bin ‘Ayiinah berkata: Ibnu 'Ajlan telah berkata, Umar bin Khattab r.a telah berkata mengenai firman Allah SWT: 

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu. (Q.S.An Nuur: 32). 

Sesungguhnya aku sangat terkejut melihat orang yang meninggalkan nikah setelah mendengar ayat tadi. 

Apabila seorang laki-laki meninggalkan nikah hanya karena takut miskin, maka sesungguhnya Allah SWT akan menjadikan pernikahan sebagai satu jalan kemudahan seandainya diiringi dengan niat yang tulus dan ikhlas. 

Qatadah r.a berkata: Umar bin Khattab r.a. telah berkata, Saya tidak melihat seorang laki-laki yang meminta harta kekayaan di saat nikah kecuali diingat sebagaimana janji Allah SWT dalam firman-Nya: 

“Dan kawinkanlah orang - orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia- Nya." (Q S. An Nuur: 32) 

Dalam satu lafadz: 

Carilah keutamaan dari Allah SWT dalam nikah. Hadits Nabi SAW menyebutkan: "Ada tiga hak atas Allah SWT dimana Dia akan menolong mereka: Orang yang berjuang di jalan Allah, Makatib yang mau bertanggung jawab dan orang yang menikah hanya ingin 'iffah." (H.R. Tirmidzi dan An- Nasai) Allah SWT telah berfirman:

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar." (Q.S.Ath Thalaaq:2) 

Kendatipun demikian, bagi setiap laki-laki hendaknya berusaha dan tidak boleh bermalasan. Jika ada seseorang yang meninggalkan nikah dengan alasan zuhud di dunia, maka orang yang berpandangan seperti itu telah jauh dari kebenaran. Zuhud yang sebenarnya adalah dengan mengikuti perintah Rasulullah SAW. Dan tiada seorangpun yang melebihi tingkat kezuhudan Rasulullah. 

Allah SWT berfirman:

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi." (Q.S.A1 Qashash:77) 

Sesungguhnya bagian yang terpenting di dunia ini adalah nikah. Hadits Nabi SAW telah menyinggung: “Dunia adalah sebuah kenikmatan dan sebaik-baiknya kenikmatan dunia adalah isteri yang shalehah." (H.R. Muslim dari hadits Amru bin Ash) 

Diriwayatkan dari Sa'id bin Hisyam, beliau menemui Aisyah r.a. seraya berkata kepadanya, "Saya ingin bertanya tentang tabattul. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini? Aisyah r.a. menjawab, Jangan kamu lakukan hal itu, aku telah mendengar firman Allah SWT: 

 "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan." (Q.S.Ar Ra'd:38) 

Maka janganlah kamu bertabattul sementara ayat di atas sangatlah jelas. (H.R. An Nasai', Tirmidzi dan Ibnu Majah) Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baiknya umat ini adalah yang paling banyak wanitanya." (H.R. Bukhari dari Ibnu Abbas) 

Rasulullah SAW bersabda: "Cintailah tiga kelompok orang dalam duniamu." Di antaranya beliau menyebutkan wanita. Diriwayatkan dari Umar r.a, beliau berkata: "Bukan sebuah kefoyaan jika mencintai wanita bahkan bukanlah sebuah ibadah ataupun zuhud apabila meninggalkan nikah." 

Al-Zabir dengan sanadnya juga menceritakan kepada Sofyan seraya berkata, "Di sisi Ali bin Abi Thalib terdapat empat isteri dan sembilan belas putera-puteri, tetapi Ali r.a berkata, Saya sangat merindukan pernikahan." 

Demikian halnya Nabi Muhammad SAW melaksanakan nikah dan menganjurkannya kepada ummatnya untuk menikah. Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., dia berkata, "Telah datang tiga kelompok ke rumah isteri-isteri Nabi SAW menanyakan tentang ibadah Rasulullah SAW, maka ketika mereka mengabarkan, seolah-olah mereka berbeda, lalu mereka berkata, Dimana posisi kami jika dibandingkan dengan Rasullullah yang telah diampuni semua dosanya yang terdahulu dan yang akan datang? Salah satu di antara mereka berkata, Saya akan shalat malam selamanya. Yang kedua berkata, Saya akan berpuasa selama satu tahun dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata juga, Saya sama sekali tidak akan makan daging. Yang lainnya berkata, Saya akan mengisolir diri dari wanita dan tidak akan menikah. Nabi SAW berkata kepada mereka, Apa yang telah kalian katakan semuanya tadi ? Demi Allah bahwa sesungguhnya saya memberikan peringatan hanya karena Allah, saya (seorang Nabi) berpuasa dan berbuka, shalat, tidur, makan daging dan menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, dia bukanlah termasuk golonganku. (H.R. Bukhari) 

Memutuskan keinginan untuk tidak menikah dinamakan tabattul, seperti salah satu ungkapan (maryam al-batuul) 

Dari Sa'ad bin Abi Waqas dalam sebuah hadits, beliau bekata, Utsman bin Madl'un berniat untuk tabattul, namun Rasulullah SAW melarangnya. Kalau seandainya Rasulullah membolehkan Utsman berbuat demikian maka sama halnya Rasul mengekang hawa nafsu secara mutlak. (H.R. Muslim) 

Nabi SAW telah menjadikan Salman dan Abu Darda' saudara dalam interaksinya. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu Darda' di kediamannya. Di saat yang sama Salman melihat Ummu Darda' mengenakan pakaian yang biasa - biasa saja. Seketika itu Salman bertanya, Ada apa gerangan wahai Ummu Darda? Ummu Darda’ menjawab, Sesungguhnya saudaramu, Abu Darda' selalu shalat di malam hari dan berpuasa di siang harinya seakan ia tidak punya hasrat sedikitpun terhadap dunia. Tak lama datanglah Abu Darda' dengan menyambut hangat kedatangan Salman dan menyuguhinya makanan. Salman berkata kepadanya, Makanlah! Abu Darda' menjawab, Aku sedang berpuasa. Salman melanjutkan, Saya bersumpah tidak akan makan kalau kamu tidak memakannya juga, hendaknya kamu berbuka puasa saat ini. Maka Abu Darda' makan bersamanya hingga Salman menginap di situ. Tatkala malam tiba, Abu Darda' bangun untuk melaksanakan shalat malam, namun Salman mencegahnya sambil berkata, Wahai Abu Darda' sesungguhnya bagi jasadmu mempunyai hak, keluargamu mempunyai hak, maka puasa dan berbukalah, shalatlah dan berilah waktu untuk keluargamu. Berilah sesuatu sesuai dengan haknya. Ketika akan tiba waktu shubuh, Salman berkata, Bangunlah kamu wahai Abu Darda' kalau kamu mampu dan shalatlah. Maka bangunlah Abu Darda' dan berwudlu kemudian shalat. Setelah itu Abu Darda' keluar mendatangi Rasul untuk menceritakan perkara yang telah dianjurkan oleh Salman. Rasulullah SAW berkata kepadanya: Wahai Abu Darda' sesungguhnya bagi jasadmu memiliki hak seperti yang dikatakan oleh Salman. Dalam satu riwayat, Rasullullah membenarkan perkataan Salman. (H.R. Bukhari danTirmidzi) 

Jika tujuan dari meninggalkan nikah adalah hanya untuk mencari kebebasan, melepaskan tanggung jawab, meninggalkan keterikatan, memudahkan dekat dengan banyak wanita atau mengisolir diri dan lain sebagainya, ini sangatlah buruk. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan mengecewakan karena hanya perbuatan sia-sia. 

Nanti Allah akan bertanya kepada para remaja tentang hari-hari remajanya, hartanya, dan waktu mereka yang telah dihabiskan ke dalam ruang kemaksiatan. 

Ada sebuah ungkapan: Kalau kamu ingin menjual kebebasanmu maka menikahlah. Sebagian ungkapan ada yang mengatakan: Nikah adalah ladangnya duri-duri. Ada juga ungkapan yang lain: Nikah adalah makamnya cinta. 

Kalau faktor penghambat untuk menikah adalah kesempurnaan studi, maka anggapan semacam ini adalah bagian dari bujukan syaitan. Faktor studi bukanlah satu satu pnghalang untuk menikah, malah sebaliknya, menikah bisa dijadikan sebagai instrumen dasar dalam aktifitas dan kreatifitas, sebagai pematangan hati dan akal, sebagai hiasan kepribadian, pemahaman, daya tangkap seseorang dan sebagai pelengkap ilmu. Barang siapa yang punya rasio yang sehat tidak akan memberikan anjuran untuk tidak menikah dengan alasan kesempurnaan studi. 

Penghambat pernikahan yang menyedihkan adalah kesenangan hidup membujang yang bebas. Mereka salah kaprah dalam mengambil kesimpulan dan menjauh dari kebenaran karena telah menyimpang dari sunnah para Rasul Allah SWT. Adapun sanggahan yang dilontarkan oleh beberapa penuntut ilmu bahwa Ibnu Taimiyah saja tidak menikah, kalaupun itu benar, maka kami jawab kepada mereka, Sesungguhnya Ibnu Taimiyah adalah seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. 

Firman Allah SWT: 

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu." (Q.S.A1 Mumtahanah: 6) 

Sebagaimana diceritakan, Ibnu Taimiyah berkata, "Saya tidak punya waktu untuk menikah." Saat itu beliau sangat sibuk menyiapkan bantahan-bantahan yang ditujukan kepada ahli kalam dan ahli bid'ah. Maka semoga orang yang menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai referensinya bisa mengikuti jejak beliau dalam menuntut ilmu untuk menggapai satu sinar benderang di ufuk dan menerangi jalan. 

Dikatakan kepada Ahmad, Apakah meninggalkan nikah merupakan satu keutamaan? Beliau menjawab, Tidak, menikah adalah satu keutamaan. Dikatakan lagi, Si fulan belum menikah!? Beliau menjawab, Ah, tapi Rasullullah: SAW menikah! 

Imam Ahmad berkata, Barang siapa yang mengajak kamu untuk membujang maka sebenarnya ia telah mengajakmu kepada agama selain Islam. 

Penundaan nikah sampai usia seorang laki-laki menjadi tua merupakan bahaya yang sangat besar, dimana bahaya ini dirasakan bagi yang telah mencobanya. 

Ibnu Abbas berkata kepada seorang laki-laki, Menikahlah, sesungguhnya sebaik-baiknya ummat adalah yang paling banyak wanitanya sekalipun tidak ada anjuran untuk menikah dan larangan membujang kecuali sesuai dengan firman Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (Q.S. Ar Ra'd: 38) 

Dalam Hadits Nabi disinyalir: 

"Barangsiapa yang menikah maka dia telah menyempurnakan setengah agamanya maka bertakwalah kepada Allah untuk setengah yang lainnya." (H.R.At Thabari dalam al-Ausath) 

Rasulullah SAW berkata kepada Akaf bin Wada'ah al- Halali, Apakah kamu punya isteri wahai Akaf? Ia menjawab,"Tidak." Rasul SAW bertanya lagi, "Tidak pula seorang budak wanita?" Ia menjawab,"Juga tidak." Rasul SAW melanjutkan pertanyaannya,"Apakah kamu punya harta?” Ia menjawab,"Ya, saya punya harta." Kemudian Rasul SAW berkata lagi, "Kalau begitu kamu tergolong sahabatnya syaitan. Kalau kamu beragama Nasrani maka kamu tergolong ruhbaniyahnya mereka. Sesungguhnya sunnahku kamu jadikan wadah kenakalanmu dan keburukan kematianmu adalah membujangnya dirimu. Tiada senjata yang paling ampuh bagi syaitan untuk (menggoda) orang-orang shaleh selain dari wanita. Kecuali hanya orang-orang yang telah menikah saja, mereka adalah orang-orang yang suci dan terbebas dari kenistaan. Hati-hatilah wahai Akaf bahwa sesungguhnya wanita-wanita itu semuanya adalah kepunyaan Ayyub, Daud, Yusuf dan Karfas. Basyar bin ‘Athiyah bertanya kepada Rasul, Siapakah Karfas itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, Seorang laki-laki yang menyembah Allah SWT di salah satu pantai lautan selama tiga ratus tahun dengan melakukan puasa selama satu tahun dan selalu bangun di malam hari untuk melakukan shalat, kemudian ia kufur kepada Allah hanya karena cintanya kepada seorang wanita hingga meninggalkan seluruh ibadah yang tidak pernah ditinggalkannya. Tapi Allah SWT memberikan hidayah kepadanya sampai ia kembali lagi kejalan Allah dan mohon ampunan-Nya. Hati-hatilah wahai Akaf, menikahlah, kalau tidak, maka kamu akan tergolong orang - orang yang melampaui batas. Akaf lantas berkata, Nikahkanlah saya wahai Rasulullah. Rasul menjawab, Aku nikahhkan kamu dengan Karimah binti Kultsum al-Humairi. [H.R. Ahmad dan Abu Ya'la dalam Musnad-nya] 

Dikisahkan ada seorang mu'azin di salah satu mesjid. Terlihat dirinya memiliki tanda-tanda orang shaleh. Pada suatu hari ketika naik ke menara untuk melakukan azan ia melihat wanita Nasrani dan ia terpesona. Ia langsung menghampirinya namun sang wanita menolak karena takut akan kesyubhat-an. Si mu'azin berkata kepadanya, Saya akan menikahi kamu. Si wanita Nasrani menjawab, Kamu seorang muslim sedangkan saya adalah wanita Nasrani. Ayahku pasti tidak akan setuju. Sang mu'azin berkata, "Apakah saya harus pindah ke agama Nasrani?" Sang wanita menjawab,"Kalau begitu ayahku akan setuju." Jadilah mu'azin tadi seorang Nasrani. Kemudian mereka menentukan hari pernikahan. Namun sebelum pernikahan terjadi, laki-laki tadi naik ke loteng rumah untuk keperluan sesuatu, namun sayangnya ia terjatuh hingga meninggal dunia. Ia belum mendapatkan wanita tersebut sebagai isterinya, di sisi lain ia telah kehilangan agama asalnya, Islam. Kita berlindung kepada Allah dari keburukan di akhir hayat. 

Apabila faktor penghalang menikah adalah keberatan dengan mahar, insya Allah pembahasan ini akan kita kaji di bab berikutnya. Tapi pada umumnya, meninggalkan nikah adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang laki-laki yang belum menikah sebenarnya ia dalam keadaan yang bergejolak dan menghadapi gelombang fitnah. Sebagian dari ulama berkata bahwa tidak ada sesuatu yang paling berat dari meninggalkan syahwat, karena menggerakkan sesuatu yang diam adalah lebih mudah ketimbang mendiamkan sesuatu yang bergerak. 

Ibnu al-Haj berkata, "Shahibul Anwar telah berkata, 'Hati - hatilah kalian terhadap tipu daya wanita. Meskipun para wanita adalah penyembah tapi sesungguhnya mereka bisa menyondongkan ke semua cobaan dan tidak merasa risih dengan sebuah fitnah. Sebagian orang bijak mengatakan bahwa syaitan tidak akan putus asa sedikitpun dalam menggoda manusia hingga dia mendatangkan wanita kepada setiap manusia. Karena sesungguhnya menahan jiwa adalah sangat mungkin bagi orang yang baik kecuali wanita.