Menjadi "Waliyyullah" dengan persaudaraan Islam

 Sahabat Umar Ibnul Khattab ra mengatakan: Bersabda Rasulullah saw:

 إِنَّ مِنْ عِبَادِ اﷲِ أَنَاسًا ٬مَاهُمْ بِأَنَبِيَاءِ وَلاَ شُهَدَاءِ ٬ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اﷲِ ٠ قَالُوا ׃ يَا رَسُولَ اﷲِ فَخَبِّرْنَا مَنْ هُمْ ؟ قَالَ ׃ هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرَوْحِ اﷲِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَا طَوْنَهَا فَوَ اﷲِ إِنَّ وُجُوْهَهُمُ النُّوْرُ ، وَإِنَّهُمْ لَعَلَى نُوْرٍ ، لاَيَخَافُوْنَ إِذَا خَافَ النَّاسُ ، وَلاَ يَحْزَنُوْنَ إِذَاحَزِنَ النَّاسُ ، وَقَرَأَ ׃ أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اﷲِ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ٠ 

"Sesungguhnya Allah mempunyai segolongan hamba. Mereka bukanlah para Nabi, juga bukan orang-orang mati syahid. Namun mereka, membuat terkagum-kagum para Nabi dan orang-orang mati syahid, karena ketinggian (kedudukan) mereka di sisi Allah. Sahabat-sahabat pun bertanya: Beritaku kami siapa mereka wahai Rasulullah?! Nabi menjawab: Mereka adalah sekelompok orang yang saling berkasih sayang (karena mencari) Rahmat Allah semata, sekalipun mereka tak ada hubungan kekerabatan, atau harta yang dengannya mereka bisa saling memberi. Demi Allah, wajah-wajah mereka bercahaya, dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak khawatir di saat orang lain khawatir. Dan mereka tidak bersedih hati di saat orang lain bersedih hati. Lantas Nabi membacakan ayal : Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada rasa ketakutan atas mereka, dan mereka tidak pula bersedih hati." (HR. Abu Daud) 

Secara umum, hubungan dan relasi sesama manusia akan harmonis jika ada 2 (dua) faktor, sebagaimana diberitakan oleh Nabi saw. 

Pertama: Hubungan kekerabatan. Hal ini bisa dicerna dengan ucapan Nabi saw: Kekerabatan di antara mereka. 

Dan kedua: Kepentingan materi. Hal ini sudah diungkap Nabi dengan ucapan beliau: Harta, yang dengannya mereka bisa saling memberi. 

Siapa pun yang mau mencermati kelestarian hubungan sesama manusia, niscaya ia berkesimpulan dengan perasaan niscaya akan kebenaran ucapan Nabi saw ini. Ia dengan mudahnya menyimpulkan bahwa kelanggengan hubungan di antara dua pihak berkepentingan pasti disebabkan salah satu dari dua hal ini: 1. Karena faktor hubungan kekerabatan 2. Karena motif kepentingan materi. 

Dua faktor ini, apabila dipergunakan dalam kehidupan sosial secara benar, sendi- sendi kehidupan sosial (termasuk ekonomi) pun akan harmonis, bahkan menciptakan kehidupan yang teratur, aman, dan menjamin. 

Namun di sana ada derajat yang lebih tinggi dan lebih mulia di atas hubungan kekerabatan dan hubungan karena kepentingan duniawi ini. Bahkan mengajak manusia menuju kesucian mental menjauh dari kotoran-kotoran kehidupan dan sampah-sampah duniawi. 

Derajat ini tak akan dicapai terkecuali oleh orang-orang yang cinta-mencintai yang didorong motif semata mencari rahmat Allah. 

Pemuda pemudi Islam ..., tentu kalian mengerti sejauh mana kemuliaan derajat para Nabi di sisi Allah Ta'ala. Begitu pula para syuhada yang mereka telah menjual nyawanya di jalan Allah, dan mereka jual murah kehidupan dunia. 

Namun para nabi dan orang-orang mati syahid ini —wahai pemuda pemudi Islam— mereka mengagumi dan ridha kepada segolongan hamba Allah atas kemuliaan derajatnya di sisi Allah Ta'ala di hari kiamat nanti. Derajat cahaya yang menyirami mc reka dan memenuhi bentangan eksistensi nya. 

Itulah wali-wali Allah! Para wali yang Rabb mereka mempersaksikannya, sehingga Ia mengabadikannya dalam firman-Nya:

"Ketahuilah bahwasanya wali-wali Allah, sama sekali tak ada kesedihan atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS.Yunus, 62) 

Sebab hati, wajah, dan arwah mereka telah dinaungi oleh bahtera cahaya yang isinya rasa aman, ketentraman, ketenangan, dan kedamaian. Tidak dirasuki sama sekali oleh perasaan takut ataupun sedih selama- lamanya. 

Kenapa wahai pemuda pemudi Islam? Sebab hati manusia jika telah bersih dalam realitas nyata dengan cinta kepada Allah Ta'ala semata, dan ia merasakan kecintaan ini terus-menerus dalam seluruh gerakannya, istirahatnya, jaganya, tidurnya, pandangannya, pendengarannya, dan usahanya... akan timbul daripadanya pancaran kecintaan kepada seluruh alam, makhluk-makhluk, dan semua materi yang ada di semesta ini. Dan ia tidak menimbang-nimbang persoalan atau perkara, kecuali dengan satu timbangan. Pertimbangan kecintaan ilahi sejati, sehingga hidup matinya, berada di atas kecintaan Ilahi ini. 

Masih ingatkah kalian kisah sahabat agung Suhaib bin Sinan ar-Rumi dan sikapnya di hari hijrah dari Makkah ke Madinah? Di Mekkah ia tergolong kaya-raya. Milyuner menurut perhitungan orang sekarang. Namun di kala ia ingin hijrah dan bertemu Nabi saw di Madinah, ia dihadang oleh Qurays. Kemudian ia diceritakan kembali keadaannya oleh pemuka-pemuka Qurays di masa silamnya yang hanya seorang budak kasar, tak berarti, dan miskin papa. Lantas mereka menolehkan pandangan Suhaib yang kini sudah menjadi hartawan, kaya-raya, dan banyaknya harta yang dimiliki. 

Namun Suhaib hanya memandang mereka dengan tatapan kosong, tidak tergiur ocehan mereka agar tetap tinggal di Mekkah hanya karena harta. Akhirnya, Suhaib menyerahkan semua hartanya kepada Qurays dengan tujuan semata-mata bisa bertemu Nabi saw di Madinah. Qurays pun kemudian pergi membiarkan Suhaib ke Madinah dengan tak membawa hartanya. 

Benar-benar Suhaib lebih mengutamakan Allah dan kecintaan-Nya daripada semua kenikmatan dunia dan kelezatannya. Berharta atau tidak, tidaklah menjadi soal baginya, asalkan mendapatkan kecin- taan-Nya. Dan bagaimana ucapan Nabi saw di saat menyambut kedatangannya? Nabi pun tersenyum sembari mengatakan: 

"Telah beruntung perniagaanmu wahai Abu Yahya ... telah beruntung ... telah beruntung ..." 

Benar wahai pemuda pemudi Islam. Dan saya menginginkan kalian meneladani serta meniru para salihin yang telah beruntung. Juga agar kalian mendaki kecintaan karena mencari ridha Allah. Sesungguhnya itu adalah kedudukan para wali yang kagumi oleh para nabi dan syuhada'.