تَشَوُّفُكَ اِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّفُكَ اِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ٠
“Keinginan untuk mengetahui tentang cela yang tersembunyi dalam batinmu, itu lebih baik daripada keinginanmu untuk mengetahui masalah-masalah gaib yang engkau tidak mampu mengalaminya."
Usaha untuk mencapai makrifat kepada yang gaib, memang tidaklah mudah. Diperlukan ilmu yang berkaitan dengan itu, disamping pengalaman rohani kita sendiri yang terus menerus dilatih dalam hubungan interaksi hamba dengan ma'bud-nya. Namun demikian perlu diketahui bahwasanya barang gaib itu adalah rahasia Allah.
Manusia hanya diberi sedikit ilmu untuk sampai ke sana. Sedangkan keinginan manusia sebagai hamba Allah terus menerus berusaha dalam batas ilmu insani untuk mengetahui dan mendapatkan semaksimal mungkin tentang hal yang gaib, dalam hubungan ritualnya dari masa ke masa.
Untuk mencapai maqam yang mulia dan suci itu, belum cukup bagi seorang hamba hanya dengan ilmu belaka. Diperlukan sesuatu yang lain untuk memperlengkapi syarat-syarat mengetahui yang gaib dan bermakrifat kepada Allah swt. Pembersihan dan pensucian jiwa dan hati diperlukan. Karena perjalanan menuju Allah dalam makrifat, adalah perjalanan yang suci dan mulia.
Koreksi diri dan introspeksi jiwa diperlukan pula, agar mampu mengetahui segala sesuatu yang menyangkut kesucian. Bersih diri dan hati dari angkuh dan bangga. Bersih diri dari iri dan dengki serta Keinginan duniawi yang menyesatkan, seperti tamak, tinggi diri, merasa lebih dari hamba Allah lainnya, bahkan menunjukkan kelebihannya kepada para hamba yang berkekurangan, dan lain-lain yang sangat tidak sesuai dengan niat hendak mendekati Allah dan bermakrifat kepada-Nya. Hati daii jiwa yang kotor, tidak mampu mendekati kegaiban. Kebodohan hamba mencapai makrifat dengan hanya sekadar keinginan belaka, tidak akan menambah iman, bahkan bisa menyesatkan iman, dan bisa juga menuju jalan sesat.
Oleh karena itu, meneliti aib dalam hati dan kotoran yang melekai pada jiwa, serta berusaha membersihkannya adalah lebih utama bagi seorang hamba, daripada sekedar mempunyai keinginan mencapai kegaiban Ilahiyah tanpa memenuhi syarat-syarat yang tersebut di atas. Riyadatunnafs dikerjakan tidak semata-mata didorong oleh keinginan, akan tetapi diperlukan kesungguhan yang tidak dimasukkan niat lain, kecuali semata-mata untuk mencapai rida Allah.
Abu Hamid Al Ghazaly dalam kitabnya "Riyadunnafs", mengemukakan bahwa, untuk mengoreksi aib diri, bisa dengan jalan: Duduk-duduk bersama (bergaul) dengan orang alim yang dapat memperingatkan aib kita, dengan contoh-contoh yang dapat membersihkan diri dari aib yang melekat dalam sanubari kita Bersahabat dengan orang-orang saddiqin (yang memiliki kebersihan jiwa) yang akan mengingatkannya di kala seorang hamba lupa.