Ada perbedaan pendapat mengenai dosa besar, adakah dosa besar itu terbatas jumlahnya atau tidak?
Dalam hal ini, ada dua pendapat.
Di antara mereka yang berpendapat bahwa dosa besar itu terbatas dan berbeda tentang jumlahnya adalah:
Abdullah bin Mas'ud berpendapat bahwa dosa besar itu ada empat. Abdullah
bin Amr bin Asli menyalakan bahwa dosa besar itu ada sembilan. Ada yang berpendapat bahwa dosa besar itu ada sebelas. Yang lainnya lagi berpendapat bahwa dosa besar itu ada tujuh puluh. Abu Thalib al-Makki mengatakan, "Aku mengumpulkan seluruh pendapat para sahabat. Ternyata, jumlahnya ada empat dosa di dalam hati, yaitu menyekutukan Allah, terus-menerus dalam maksiat, putus asa dari rahmat-Nya, dan merasa aman dari makar-Nya. Ada empat dosa besar pada lisan, yaitu kesaksian palsu, menuduh zina wanita yang menjaga kehormatannya, sumpah palsu, dan sihir. Ada tiga di dalam perut, yakni meminum minuman keras, memakan harta anak yatim, dan memakan riba. Dua dosa besar pada kemaluan, zina dan perbuatan homoseksual. Ada dua dosa besar di tangan, membunuh dan mencuri. Ada satu di kedua kaki, yaitu lari di saat peperangan. Ada satu juga yang berkaitan dengan seluruh tubuh, yaitu durhaka kepada kedua orang tua."
Adapun di antara mereka yang tidak memberikan batasan jumlah dosa besar ada yang berkata: "Setiap apa yang dilarang oleh Allah dalam al-Qur'an adalah dosa besar, sedangkan apa yang dilarang oleh Rasulullah adalah dosa kecil." Sebagian golongan lainnya berpendapat, "Larangan yang disertai dengan ancaman, baik berupa laknat, kemurkaan maupun hukuman adalah dosa besar. Adapun larangan yang tidak disertai ancaman tersebut termasuk dosa kecil."
Ada juga yang berpendapat: "Setiap larangan yang berakibat hukuman had di dunia dan ancaman di akhirat merupakan dosa besar. Adapun larangan yang tidak berakibat demikian adalah termasuk dosa kecil." Dikatakan juga bahwa "setiap apa-apa yang hukum haramnya di sepakati oleh semua aturan syariat adalah dosa besar, sedangkan sesuatu yang diharamkan oleh sebagian syariat saja adalah dosa kecil."
Ada pula pendapat yang mengatakan, "Setiap larangan yang Allah dan Rasul-Nya melaknat orang yang mengerjakannya maka termasuk dosa besar." Dikatakan juga, "Dosa besar adalah semua dosa yang disebutkan di awal surat al-Nisaa sampai kepada ayat:
"Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian kerjakan, niscaya Kami hapus kesalahan- kesalahan kalian (dosa-dosa yang kecil) dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga)( An-Nisaa [4] : 31)"
Mereka yang tidak menggolongkan dosa-dosa menjadi dosa besar ataupun dosa kecil menyatakan bahwa seluruh dosa ketika dihubungkan dengan sikap berani kepada Allah Swt. Dengan berbuat maksiat dan menyalahi perintah-Nya adalah dosa besar. Perhatikanlah orang yang bermaksiat dan menerjang larangan-larangan-Nya maka yang demikian itu seluruhnya berakibat menjadi dosa besar dan kerusakan!
Mereka menjelaskan landasan pendapat itu dengan dasar bahwa sesungguhnya, dosa-dosa itu tidak membawa bahaya dan pengaruh terhadap Allah Swt. Oleh karena itu, tidak ada dosa yang lebih besar daripada dosa yang lain. Yang ada hanyalah maksiat
dan perilaku yang menentang kepada-Nya. Jadi, antara dosa yang satu dengan lainnya adalah sama dan tidak ada bedanya.
Mereka juga menyatakan bahwa kerusakan akibat dosa itu terkait dengan sikap berani dan meremehkan Tuhan. Maka dari itu, jika ada seseorang yang meminum minuman keras atau berbuat zina, sedangkan ia tidak meyakini keharamannya, berarti ia telah mengumpulkan antara kebodohan dan kerusakan akibat melakukan perkara haram. Seandainya yang melakukan hal itu adalah orang yang meyakini keharamannya, berarti ia telah melakukan salah satu di antara dua bahaya kerusakan tersebut sehingga ia berhak untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada orang yang pertama. Jadi, kerusakan akibat dosa itu sehubungan dengan keberanian dalam melakukannya.
Mereka juga berpendapat bahwa maksiat itu mengandung sikap meremehkan perintah dan larangan Dzat yang wajib ditaati. Ini berarti tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa lainnya.
Mereka mengatakan, "Seorang hamba tidak boleh melihat sisi besar dan kecilnya dosa pada dirinya, namun ia juga harus memperhatikan keagungan derajat Dzat yang ia durhakai dan ia langgar perintah-Nya dengan berbuat maksiat. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara maksiat yang satu dengan maksiat yang lain. Manakala seorang raja yang agung dan harus ditaati memerintahkan seorang pelayannya untuk pergi ke negeri yang jauh untuk melaksanakan tugas dan memerintahkan pelayan yang lain untuk bertugas di dekat rumahnya, namun keduanya menentang perintahnya, tentu mereka berdua mendapat mur¬kanya, serta sama-sama menjadi hina dalam pandangannya."
Oleh sebab itu, perbuatan maksiat berupa enggan haji, padahal ia tinggal dekat dengan Makkah ataupun meninggalkan shalat Jum'at, padahal ia dekat dengan masjid adalah lebih buruk dalam pandangan Allah daripada meninggalkannya sebab letak tempat tinggalnya yang jauh. Orang yang dalam kondisi pertama lebih wajib daripada orang yang kedua. Demikian juga orang yang mempunyai harta dua ratus dirham, lalu ia enggan mengeluarkan zakatnya dengan orang yang memiliki harta dua ribu dirham yang juga enggan mengeluarkan zakatnya, keduanya tidaklah sama dalam hal ukuran keengganan mereka melaksanakan kewajiban. Mereka pun tidak sama dalam hukuman yang diterima apabila masih tetap enggan mengeluarkan zakat dari hartanya, baik harta itu sedikit maupun banyak.
Inti permasalahannya adalah bahwasanya Allah Azza wajalla telah mengutus para utusan-Nya, menurunkan kitab-kitab- Nya, dan juga menciptakan langit dan bumi agar Dia dikenali, disembah, serta diesakan. Agama adalah milik-Nya, seluruh ketaatan adalah kepada-Nya, dan Dialah satu-satunya tempat berdoa. Allah Swt. berfirman:
"Dari, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Adz-Dzaariyaat [51] :56)."
"Dan, tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar....( Al-Hijr [15] : 85)"
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya,. Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.( Al-Thalaaq [ 65] : 12)"
“Allah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had, petunjuk, dan qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kalian tahu bahwa sesungguhnya, Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahiva sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.( Al-Maa’idah [5] : 97)"