Termasuk dampak buruk kemaksiatan adalah bisa memadamkan api gairah kecemburuan yang menjadi sumber kehidupan dan kebaikan, sebagaimana hawa panas naluriah yang bermanfaat bagi seluruh badan.
Panasnya api gairah kecemburuan dapat mengeluarkan kotoran-kotoran dan sifat-sifat tercela laksana ububan api yang dapat membersihkan kotoran emas, perak, dan besi. Manusia yang pa¬ling mulia dan paling luhur derajatnya adalah yang paling me-miliki gairah kecemburuan atau semangat (positif) dalam dirinya.
Nabi Saw. adalah manusia yang paling pencemburu di antara makhluk kepada umatnya, sementara Allah lebih pencemburu lagi. Dalam hadits shahih, Nabi Saw. bersabda, "Apakah kalian heran dengan gairah kecemburuan Sa'd?! Aku lebih pencemburu daripada dia, dan Allah lebih pencemburu daripada aku. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad )"
Diriwayatkah dalam sebuah hadits shahih bahwa saat khutbah shalat gerhana, Nabi Saw. bersabda, "Wahai umat Muhammad, tiada seorang pun yang lebih cemburu (marah) daripada Allah ketika ada hamba atau umat-Nya melakukan zina.( HR. Muslim)”
Dalam sebuah hadits shahih juga diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda : “Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah. Maka dan itu, Dia mengharamkan perbuatan keji yang tampak dan yang tersembunyi. Tiada seorang pun yang lebih menyukai alasan daripada Allah. Oleh sebab itu, Dia mengirimkan para utusan untuk memberi kabar gembira dan peringatan. Tidak ada seorang pun yang lebih menyukai pujian daripada Allah. Oleh karena itu, Dia memuji diri-Nya sendiri."
Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw. mengumpulkan antara kecemburuan atas dasar benci terhadap segala keburukan dengan rasa suka kepada alasan yang mengakibatkan adanya keadilan, kasih sayang, dan kebaikan yang sempurna.
Allah Swt., meski sangat pencemburu, Dia menyukai hamba yang beralasan terhadap-Nya dan menerima alasan dari siapa pun yang beralasan kepada-Nya. Dia tidak menghukum hamba-Nya sebab berbuat dosa yang menyebabkan-Nya cemburu sebelum Dia memberikan dasar alasan kepada mereka. Oleh karena itu, Dia mengirim para utusan-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya guna memberikan peringatan. Ini merupakan puncak keagungan, kebaikan, serta kesempurnaan.
Banyak orang yang terbawa rasa cemburu (marah) hingga gegabah dalam memutuskan serta menjatuhkan hukuman tanpa mau tahu alasannya. Ia juga enggan menerima alasan dari orang yang bersangkutan, padahal bisa jadi dia memiliki dasar alasan dari perbuatannya, namun rasa cemburu yang meledak tidak membiarkannya untuk menerima alasan. Tidak sedikit juga orang yang selalu menerima alasan-alasan sebab sedikitnya kecemburuan pada dirinya hingga terlalu leluasa untuk beralasan, la memandang mudah sebuah alasan hingga sering berdalih dengan takdir. Keduanya merupakan sifat yang tercela.
Diterangkan dalam sebuah hadits shahih bahwa Nabi Saw. bersabda, "Di antara kecemburuan itu ada yang disukai dan ada yang dibenci oleh Allah. Kecemburuan yang dibenci oleh Allah adalah kecemburuan terhadap sesuatu tanpa ragu dengan tanpa mengemukakan alasan."
Kecemburuan yang baik adalah kecemburuan yang disertai dengan alasan hingga cemburu kepada sesuatu yang pantas dicemburui dan menerima alasan terhadap sesuatu yang layak diterima alasannya. Barangsiapa yang berperilaku demikian, ia adalah orang yang benar-benar terpuji.
Oleh karena Allah memiliki seluruh sifat – sifat yang sempurna, Dia berhak untuk mendapat pujian dari siapa saja. Namun, tidak seorang pun yang sanggup memuji-Nya seperti selayaknya. Dia adalah sebagaimana Dia memuji dan menyanjung diri-Nya sendiri.
Hamba yang pencemburu menyerupai dengan salah satu dari sifat-sifat Allah. Barang siapa yang menyerupai salah satu sifat-Nya, sifat itu akan mengantar dirinya kepada-Nya, memasukkannya kepada keridhaan-Nya, mendekatkannya kepada rahmat-Nya, serta menjadikannya sebagai kekasih-Nya.
Sesungguhnya, Allah itu Maha Penyayang dan mencintai orang-orang yang penyayang, Maha Pemurah dan mencintai orang-orang yang pemurah, Maha Mengetahui dan mencintai orang-orang yang berilmu, Maha Kuat dan mencintai orang mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah dan juga mencintai orang yang pemalu, Maha Indah dan mencintai orang- orang yang indah, serta Maha Ganjil dan mencintai yang ganjil.
Seandainya dosa-dosa dan kemaksiatan hanya menjauhkan pelakunya dari sifat-sifat tersebut, itu sudah cukup sebagai hukuman. Ini dikarenakan pikiran dapat berubah menjadi bisikan, bisikan menjadi keinginan, keinginan menjadi kuat lalu berubah menjadi tekad, kemudian menjadi langkah hingga menjadi sifat yang melekat. Dalam kondisi seperti ini, orang akan sulit untuk keluar dari kebiasaan yang dilakukannya, sesulit ia keluar dari sifat-sifat yang telah melekat pada dirinya sebelumnya.
Maksudnya ialah jika ia telah begitu rekat dengan dosa-dosa, tentu tidak akan ada kecemburuan dalam hatinya kepada dirinya sendiri, keluarganya, dan semua orang, bahkan hatinya menjadi sangat lemah sehingga ia tidak lagi menganggap buruk sesuatu yang buruk, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Bila ia telah sampai pada kondisi seperti ini, berarti ia benar-benar telah memasuki pintu kehancuran.
Banyak dari golongan orang seperti itu, yang bukan hanya tidak membenci keburukan, bahkan mereka menganggap baik perbuatan keji dan aniaya serta mengajak orang lain untuk melakukannya. Maka dari itu, orang yang sama sekali tidak memiliki rasa cemburu adalah sejelek-jeleknya makhluk Allah dan surga diharamkan baginya. Demikian pula orang yang menghalalkan dosa serta ke/hnliin.m dan yang membujuk lainnya untuk melakukannya. Itulah akibat dari kecilnya kecemburuan.
Hal ini menunjukkan bahwa dasar kekuatan agama adalah rasa cemburu. Barang siapa yang tidak memiliki ke¬cemburuan, berarti ia tidak kuat agamanya. Kecemburuan menghidupkan hati sehingga seluruh anggota badan juga hidup. Jika sudah demikian, ia bisa menolak perbuatan buruk dan keji. Sebaliknya, tidak adanya rasa cemburu dapat mematikan hati hingga anggota badan juga ikut mati dan tidak dapat menolak keburukan serta perbuatan keji sama sekali.
Rasa cemburu itu laksana kekuatan yang mampu menolak penyakit dan melawannya. Apabila kekuatan itu hilang maka penyakit pun bisa masuk dengan leluasa tanpa ada yang menghalangi dan menolaknya. Kecemburuan itu ibarat tanduk kerbau yang bisa digunakan untuk melindungi diri dan anaknya, jika tanduk itu hancur maka musuh pasti bisa dengan mudah menyerangnya.
Termasuk dampak buruk dari dosa dan kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu yang merupakan sumber pokok bagi hidupnya hati dan juga menjadi dasar utama setiap kebaikan. Jika rasa malu telah hilang, lenyaplah semua kebaikan.
Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, "Malu adalah kebaikan seluruhnya."
Beliau Saw, juga bersabda: "Di antara sesuatu yang didapatkan manusia dari perkataan kenabian yang pertama adalah, 'Jika kamu tidak malu maka lakukan apa saja sesukamu!" Ada dua interpretasi dalam hadits ini.
Pertama, peringatan dan ancaman, yakni siapa pun yang tidak memiliki rasa malu, tentu ia akan berbuat keburukan semaunya. Ini karena pendorongnya untuk meninggalkan keburukan adalah rasa malu. Oleh karena itu, apabila tidak ada rasa malu yang membebaskannya dari keburukan, pastilah ia akan terjerumus di dalamnya. Ini adalah penafsiran Abu Ubaidah.
Kedua, sesungguhnya, perbuatan yang tidak disertai rusa malu terhadap Allah maka lakukanlah! Hal ini karena perbuatan yang seharusnya ditinggalkan adalah perbuatan yang didasari rasa malu terhadap Allah. Demikian penafsiran Imam Ahmad dalam riwayat Ibnu Hani'.
Penafsiran pertama yaitu peringatan, ini sesuai dengan firman Allah:
"Sesungguhnya, orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka, apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Berbuatlah sekehendak kalian. Sesungguhnya, Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan,( Fushilat [41] : 40)"
Adapun penafsiran yang kedua, yakni izin atau pembolehan. Jika ditanyakan, "Apakah mungkin menggunakan dua penafsiran itu sekaligus?" "Tidak", jawabku. Tidak mungkin antara pembo¬lehan dan ancaman itu dilaksanakan bersamaan karena keduanya bertentangan. Akan tetapi, mengambil yang satu maka mewajib¬kan untuk memakai yang lain.
Dosa-dosa itu bisa melemahkan rasa malu seorang hamba sampai hilang sepenuhnya. Kemudian, ia tidak akan mempedu- likan orang lain yang tahu dan melihat keburukannya. Bahkan, kebanyakan dari mereka justru memberitahukan keadaan dan perbuatannya yang buruk kepada orang lain. Itu semua disebabkan karena sudah tidak memiliki rasa malu. Apabila seorang hamba telah mencapai kondisi yang demikian, berarti ia sudah tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki diri lagi dan jika Iblis me-lihatnya, ia tentu berkata, "Aku telah menebus orang yang tidak akan beruntung."
Kata al-Haya' (malu) berasal dari kata al-Hayaah (kehidupan). Hujan disebut "hay" karena ia dapat menjadi sumber kehidupan bumi, tanaman, dan hewan. Begitu pula rasa malu juga disebut dengan kehidupan dunia dan akhirat. Maka, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu berarti dia telah mati di dunia dan celaka di akhirat.
Antara dosa, kurangnya rasa malu, dan tidak adanya kecemburuan memiliki keterkaitan yang inheren antara yang satu dengan lainnya hingga masing-masing saling menarik yang lain. Barang siapa yang malu karena Allah dalam bermaksiat, Dia juga malu untuk menghukumnya di hari perjumpaannya dengan-Nya. Dan, barang siapa yang tidak malu kepada Allah dalam berbuat maksiat, Dia pun tak akan segan untuk menghukumnya.