Syarat pertama, hendaklah
perjalanan itu cukup jauh, jaraknya mencapai 81 Km atau lebih.
Perjalanan yang kurang dari itu dianggap belum memenuhi syarat di sini.
Al-Bukhari
telah meriwayatkan dalam komentarnya mengenai “Mengqashar Shalat”, Bab:
Dalam Jaran Berapa Jauh Shalat Boleh Diqashar”: Dan adalah Ibnu ‘Umar
dan Ibnu ‘Abbas – Radhiyallahu ‘Anhuma – mengqashar shalat dan berbuka
puasa dalam 4 barid (pos) = 16 farsakh = ± 81 kilometer. Dan orang
semisal Ibnu Umar dan Ibnu Abbas tentu melakukan perbuatannya secara
tauqif, yakni berdasarkan pengetahuan dari Nabi SAW.
Syarat
kedua, perjalanan hendaklah mempunyai tujuan tertentu yang pasti.
Dengan demikian, dianggap tidak memenuhi syarat, perjalanan seseorang
sesampai-sampainya kaki, tanpa tujuan tertentu. Dan juga, perjalanan
orang yang manut saja kepada pemimpinnya, sedang dia tidak tahu kemana
akan pergi.
Tetapi
ini semua apabila belum mencapai jarak perjalanan yang jauh tersebut di
atas. Kalau jarak sekian sudah tercapai, maka boleh mengqashar, karena
jauhnya perjalanan sudah jelas.
Syarat
ketiga, tujuan perjalanan bukanlah untuk melakukan sesuatu maksiat.
Kalau tujuannya demikian, maka perjalanan seperti itu dianggap tidak
memenuhi syarat. Seperti halnya orang yang merantau untuk berdagang
khamar, memungut riba atau membegal. Karena qashar adalah rukhsakh
(peringanan). Sedangkan rukhsakh itu disyari’atkan tak lain karena
tujuan yang terpuji. Dan oleh karenanya, tak boleh dilakukan untuk
tujuan-tujuan maksiat. Tegasnya, tak boleh berkaitan dengan apa pun yang
memuat maksiat.
MENJAMAK DUA SHALAT DI KALA HUJAN
Menjamak taqdim anatara dua shalat diperbolehkan di kala hujan.
Al-Bukhari (518), dan Muslim (705) telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA:
اَنَّ
النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِيْنَةِ
سَبْعًا وَثَمَانِيًا، الظُّهْرَ وَالْعَصْر، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ،
زَادَ مُسْلِمْ: مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ، وَعِنْدَالْبُخَارِيِّ:
فَقَالَ اَيُّوْبُ، اَحَدُ رَوَاةِ الْحَدِيْثِ، لَعَلَّهُ فِى لَيْلَةٍ
مَطِيْرَةٍ؟ قَالَ عَسَى، وَعِنْدَ مُسْلِمٍ: قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا: اَرَادَ اَنْ لاَيُخْرِجَ اَحَدًا مِنْ اُمَّتِهِ
Bahwasanya
Nabi SAW pernah shalat di Madinah tujuah dan delapan rakaat: Zhuhur dan
‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya.
Muslim menambahkan: tanpa alasan takut ataupun perjalanan jauh.
Sedang menurut al-Bukhari: Maka berkatalah Ayyub – salah seorang
periwayat hadits ini - : “Barangkali Nabi berada pada malam hujan?”
Jawab Ibnu ‘Abbas: “Boleh jadi”.
Sedang menurut Muslim, Jawab Ibnu ‘Abbas RA: “Beliau ingin agar tidak
menyulitkan seorang pun dari umatnya”.
Adapun
menjamak kedua shalat itu dalam waktu yang kedua, tidaklah
diperbolehkan. Karena barangkali hujan menjadi reda. Dengan demikian,
berarti shalat itu dikeluarkan dari waktu yang semestinya tanpa uzur.
Dan untuk jenis ini, dipersyaratkan hal-hal berikut:
1.
Shalat itu dilakukan berjamaah di sebuah masjid, yang menurut ‘uruf
cukup jauh dari tempat tinggal, hingga menyulitkan orang yang pergi ke
sana dalam keadaan hujan.
2. Hujan masih berlangsung pada permulaan shalat yang kedua, dan di kala salam dari shalat yang pertama