Tayammum Sesudah Masuknya Waktu
Bagi orang yang telah memenuhi sebab-sebab tayammum, dia tetap belum boleh melakukan tayammum untuk shalat fardhu kecuali sesudah masuknya waktu. Karena Rasulullah SAW bersabda:
فَاَيُّ مَارَجُلٍ مِنْ اُمَتِى اَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
Siapa pun di antara umatku yang sempat mengalami (waktu) shalat, maka hendaklah ia melakukan shalat. (H.R. al-Bukhari: 328)
Sedang menurut Imam Ahmad (2/222)
اََيْنَمَا اَدْرَكَتَيْنِى الصَّلاَةُ تَمَسَّحْتُ وَصَلَّيْتُ
Di mana pun aku sempat mengalami (waktu) shalat, maka aku bertayammum lalu shalat.
Kedua riwayat tersebut di atas menunjukkan, bahwa tayammum itu baru bisa dilakukan ketika mengalami waktu shalat. Dan waktu shalat itu hanya dialami setelah masuknya.
Tayammum Untuk Tiap-Tiap Shalat Fardhu
Dengan satu tayammum orang hanya boleh melakukan satu kali shalat fardhu saja. Sedang untuk shalat sunnah, dia boleh melakukannya sebanyak-banyaknya.
Dan demikian pula mengenai shalat Janazah. Jadi, kalau dia hendak melakukan shalat fardhu yang lain, dia harus bertayammum lagi, sekalipun belum berhadats sesudah tayammumnya yang pertama, baik shalat itu merupakan shalat adaa’ (tunai) maupun qadha’.
Al-Baihaqi (1/221) telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari Ibnu Umar RA, dia berkata:
يَتيَمَّمُ لِكُلِ صَلاَةٍ وَاِنْ لَمْ يُحْدِثْ
Rasulullah bertayammum untuk tiap-tiap shalat, sekalipun belum berhadats.
Tayammum Sebagai Pengganti Mandi Adalah Fardhu
Ketika sebab-sebab tayammum telah terpenuhi, maka ia bisa menjadi pengganti mandi bagi orang yang memerlukannya, sebagaimana ia bisa menjadi pengganti wudhu’. Allah Ta’ala berfirman:
Dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah. (Q.S. al-Maidah: 6)
Laamastum sma artinya dengan lamastum (menyentuh).
Al-Bukhari (341) dan Muslim (682) meriwayatkan dari Imran bin Hushain RA, dia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اﷲُ صَلٌَى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ فِىسَفَرٍ٬ فَصَلَّى بِاالنَّاسِ٬ فَاِذَاهُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ ٬فَقاَلَ׃ مَامََ نَعَكَ اَنْتُصَلِّىَ؟ قَالَ اَصَابَتْنِى جَنَابَةٌ وَلاَمَاءَ قَالَ׃عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَاِنََّهُ يَكفِيْكَ
Kami bersama Rasulullah SAW melakukan suatu perjalanan, maka beliau shalat bersama orang banyak. Tiba-tiba ada seorang lelaki menyendiri, maka beliau bertanya: “Kenapakah kamu tidak shalat?” Jawab orang itu: “Aku terkena janabat, sedangkan air tidak ada.” Beliau bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan tanah, karena ia sesungguhnya cukup bagimu.”
Ash-Sha’id: gunakan debu yang muncul di atas permukaan tanah.
Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
Tayammum menjadi batal dan rusak karena beberapa hal:
1. Semua yang membatalkan wudhu’, sebagaimana pernah diterangkan dalam Bab wudhu’.
2. Ada air setelah tidak ada, karena tayammum itu pengganti air. Jadi, kalau yang asli sudah ada, maka penggantinya menjadi batal.
Abu Daud (332) dan lainnya telah meriwayatkan dari Abu Dzar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِنَّالصَّعِيْدَ الطَّيِِّبَ طَهُوْرُالمُسْلِمِ٬ وَاِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَعَشَرَسِِنِيْنَ٬ فَاِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَهُ بَشَرَتَةُ ٬فَاِنَّ ذٓلِكَ خَيْرٌٌ
Sesungguhnya tanah yang suci itu alat bersuci bagi orang Islam, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Apabila ai telah mendapatkan air, maka hendaklah ia sentuhkan air itu pada kulitnya. Karena hal itu lebih baik.
Falyumissahu basyaratuhu: maka hendaklah ia menyentuhkan air itu pada kulitnya.
Maksudnya, hendaklah ia bersuci dengannya. Dan ini menunjukkan bahwa tayammumnya batal setelah air sudah ada.
Adapun kalau adanya air itu sesudah selesainya shalat, maka shalatnya sah dan tidak wajib qadha’. Dan demikian pula, jika dia mendapatkan air setelah memulainya shalat, maka ia boleh menyelesaikan shalat itu sebagai shalat yang sah. Tetapi kalau dia putuskan shalat itu untuk berwudhu’ lalu shalat dengan wudhu’ itu, maka hal itu lebih baik.
3. Mampu menggunakan air, seperti halnya orang yang asalnya sakit lalu sembuh.
4. Murtad dari Islam –semoga Allah melindungi kita daripadanya-. Karena tayammum itu untuk memperoleh keizinan melakukan shalat, sedangkan keizinan itu hilang jika terjadi kemurtadan. Lain halnya wudhu’ dan mandi, yang kedua-duanya untuk menghilangkan hadats.