Pada dasarnya Islam mengajak kepada ajaran tauhid dan menolak serta menentang pensifatan terhadap Tuhan sebagai seorang bapak atau anak.
Al-Qur’an mengatakan :
“Katakanlah “ ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dan tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia”. (Q.S. 112 : 1-4).
Al-Qur’an juga menegaskan ke-esa-an Allah di dalam menciptakan alam, serta menentang terhadap setiap perbuatan syirik kepada Allah :
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan kerajaan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia telah menciptakan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan”. (Q.S. 25 : 2-3).
Ayat tersebut dapat diambil suatu pengertian, hanya Allah-lah yang memiliki langit dan bumi. Allah tidak beranak dan tiada yang menyamai-Nya. Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan cermat dan teliti, sehingga semua makhluk dibekali dengan kemampuan agar dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Tetapi walau demikian orang-orang musyrik masih saja menyembah selain Allah yang terdiri dari berhala-berhala, berbagai binatang, hewan, bahkan manusia. Padahal, semua yang disembah ini tidaklah mampu berbuat apapun lantaran semuanya adalah makhluk Allah. Mereka takkan mampu menolak datangnya bahaya yang menimpa dirinya, dan tak mampu berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya. Semua yang mereka sembah ini tak mampu membuat mati dan tak mampu menghidupkan orang yang telah mati dari kuburnya. Setiap sesuatu yang tidak memiliki sifat-sifat yang telah tersebut, maka tidaklah berhak untuk disembah.
Al-Qur’an telah memberikan jawaban tegas perihal orang-orang yang menjadikan gejala alam sebagai sesembahan :
“Dan sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika hanya kepada-Nya saja menyembah”. (Q.S. 41 : 37).
Ada pula sebagian umat manusia yang menjadikan pemuka agama sederajat dengan Tuhan. Dan mereka percaya bahwa para pemimpin dan pemuka agama itu mampu menciptakan kecelakaan dan mampu membuat kebaikan. Lebih dari itu, mereka memiliki hak pengampunan dosa dan memberi berkat. Mereka juga diberi hak membuat undang-undang – walaupun pada hakekatnya bertentangan dengan syari’at Islam. Karenanya, Islam mengajak kepada mereka agar membebaskan diri mereka dari genggaman kekuasaan para pemimpin agama mereka.
Allah berfirman :
“Katakanlah : ‘Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lainnya sebagai tuhan selain daripada Allah”. (Q.S. 3 : 64).
Pengertian ayat-ayat tersebut mencakup kejadian-kejadian yang saat ini banyak terjadi di kalangan beberapa bangsa yang menjadikan para pemimpin agama sebagai tuhan, perkataannya dianggap suci dan wajib diikuti.
Termasuk di dalam kategori menuhankan, juga banyak menimpa umat manusia yang mengikuti kehendak hawa nafsu. Hal ini banyak sekali terjadi di masa lalu maupun di abad modern ini. Demi memuaskan hawa nafsunya, mereka mengorbankan segala sesuatu yang berharga, serta mengenyahkan norma-norma rohani yang luhur. Mereka sampai berani menanggung akibat yang akan diderita dari sikapnya tersebut.
Al-Qur’an menolak sikap seperti ini, yang tergambar di dalam salah satu ayatnya :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”. (Q.S. 45 : 23)
Syirik adalah bagai khayalan yang tak berdasarkan pada bukti secara rasional. Dan perbuatan ini termasuk perbuatan yang sangat batil yang sekaligus ditentang oleh Islam secara keras, dan digolongkan sebagai perbuatan dosa paling besar yang tiada ampunan bagi pelakunnya.
Posting Komentar untuk "Larangan Perbuatan Syirik Dalam Islam"