“Bagian hawa nafsu dalam maksiat itu nampak dengan jelas, sedang bagiannya di
dalam ketaataan, halus dan samar. Menyembuhkan segala yang samar itu
terlalu sulit."
حَظُّ النَّفْسِ فِى الْمَعْصِيَةِ ظَاهِرٌ جَلِىٌّ وَ حَظُّهََا فِِى الطَّّاعَةِِ بَاطِنٌٌ خَفِىٌّ وَ مُدَاوَةُ مَا يَخْفَى صَعْبٌ عِلاَجُهُ٠
Hawa nafsu setan itu selamanya mengambil posisi penting dan menempatkan dirinya dalam ketaatan dan kemaksiatan yang terus dulanjutkan dengan menyebarkannya ke tempat-tempat yang strategis. Peranan setan di dalam menyebarluaskan hawa nafsu mendominasi seluruh kegiatan dan fungsi raga dan jiwa manusia.
Hawa nafsu selalu mendorong kepada kejahatan sangat jelas dan dapat dilihat pada sikap dan tingkah laku manusia. Bahkan hawa nafsu suka memamerkan kemampuan syahwat dan maksiatnya. Pada umumnya hawa nafsu syahwat dan maksiat lainnya berakhir sangat tragis dan menyebabkan bencana di tengah masyarakat. Perbuatan maksiat tidak pernah mensejahterakan manusia. Perbuatan syahwat badani, kelezatan yang merusak, kesenangan yang sekejap, semuanya hasil dari perbuatan maksiat, yang sangat menggoda. Ukuran yang dipakai untuk memperkuat perbuatan maksiat adalah kegembiraan dan kepuasan. Ketika manusia lupa daratan dan setan ikut meramaikan pesta kepuasan itu, manusia pun larut dalam kegembiraan yang sementara itu. Ketika bencana kehancuran itu tiba, barulah manusia sadar dalam ketimpangan jiwanya.
Peranan hawa nafsu dalam ketaatan sama halnya dengan peranannya di dalam kemaksiatan. Hawa nafsu dan taat, umumnya menempatkan dirinya dalam ibadah yang melahirkan sifat-sifat merusak atau menodai ibadah. Di antara sifat-sifat itu, adalah riya', ujub, kikir, yang menyangkut kesenangan hati agar ketaatannya dapat dilihat orang dan mendapatkan pujian sebagai orang alim dan takwa. Lawan dari perbuatan riya' ini adalah ikhlas dan rida.
Hawa nafsu dalam menjalankan ketaatan sangat samar. Tidak nampak dalam perbuatan para hamba. Sebab begitu halusnya ditutupi pula dengan perbuatan taat. Sehingga yang nampak itu adalah ibadah.
Hawa nafsu telah tertutup oleh sikap ibadah seorang hamba. Berhati - hati dalam ibadah diperlukan kemampuan ekstra untuk mcmll kebersihan ibadah para hamba. Sebab benar-benar sifat riya' itu sangat halus. Oleh karena itu riya' dikategorikan dalam syirik hafi (ringan). Syirik seperti ini diungkap oleh Nabi saw. karena halusnya di ibaratkan seperti semut hitam yang menjalar di atas batu hitam, di malam kelam.
Kehendak-kehendak dalam ibadah, kadang-kadang nampaknya baik dan saleh, karena dikerjakan bersamaan dengan ibadah. padahal kehendak-kehendak tersebut telah menodai bahkan mengotori ibadah si hamba. Ibarat setetes tinta yang jatuh melekat di atas baju putih seseorang. Noda tinta itu sangat kecil sehingga tidak nampak, ,apabila tidak dilihat dengan teliti, akan tetapi telah mengotori baju putih si hamba. Noda tinta itu dapat juga membesar dan merambat kebagian lain, apabila tidak hati-hati membersihkannya. Begitu pula ibarat noda syirik hafi yang melekat dalam ibadah seorang hamba.
Ketika menjalankan ketaatan hendaklah berhati-hati, terutama dalam ibadah yang langsung dengan Allah, seperti salat, puasa, dan semua yang tercantum dalam rukun Islam yang lima.
Demikian juga dalam ibadah muamalah, seperti sedekah, infaq, hadiah dan lain sebagainya yang berhubungan antara seorang hamba dengan hamba lainnya.
Hendaknya cepat membedakan, adalah suatu ibadah dilaksanakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau untuk mendekatkan diri kepada manusia, atau hanya untuk kepuasan tertentu bagi diri si hamba. Sesungguhnya semua ibadah itu terikat dengan niat si hamba. Karena niat itulah yang akan menentukan benar atau salah, diterima atau ditolak suatu ibadah. Oleh karena itu bagi seorang hamba niat perlu diluruskan dan diperbaharui setiap saat. Membersihkan dan memperbaharui niat membahayakan agar ibadah kita terhindar dari noda syirik yang sangat membahayakan dan merugikan hamba-hamba Allah, karena ibadah menjadi rusak dan sia-sia. Para Ulama salaf mengingatkan pula, "Kerap kali amal yang kecil berubah menjadi amal yang besar karena keutamaan dan kebaikan niatnya, dan kadang-kadang amalan yang besar menjadi kecil karena salah memasang niat."
Rasulullah saw juga telah mengingatkan dalam hadis yang sudah terkenal bahwasanya tiap amal itu hendaklah dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang ia kerjakan tergantung pula pada niatnya.
Syekh Ahmad Ataillah menegaskan hal ini dalam ungkapannya:
رُبَّمَا دَخَلَ الرِّيَاءُ عَلَيْكَ مِنْ حَيْثُ لاَ يَنْظُرُ الْخَلْقُ اِلَيْكَ٠
“Terkadang pula riya' itu masuk ke dalam hatimu dari jurusan yang orang tidak dapat melihatmu."
Sifat riya' seperti telah dijelaskan di atas, adalah sifat yang dimiliki oleh hamba Allah yang suka dipertontonkan kepada manusia dalam bentuk lahiriah yang didorong oleh hawa nafsu amarah. Oleh karena hawa nafsu yang berbentuk riya' itu sangat halus tidak diketahui oleh manusia, apalagi telah ditutup dengan label ibadah, maka hampir tidak nampak hawa nafsu riya' tersebut. Hanya yang dapat dilihat oleh manusia, juga yang dapat dinilai oleh manusia adalah sikap lahiriah manusia saja. Keadaan batin manusia hanyalah Allah swt yang Maha Mengetahui.
Dalam suatu kabar Ali bin Abi Thalib berkata, "Kelak pada hari kiamat Allah akan berfirman kepada orang fakir: "Tidakkah kamu semua telah diberi harga pasar yang murah? Tidakkah kamu semua sudah menerima salam terlebih dahulu? Bukankah ketika kamu semua menginginkan sesuatu, kalian telah mendapatkannya?" Dalam haditst lain dijelaskan, "Sekarang telah habis pahala untukmu, karena semua pahala telah kalian terima di dunia."
Telah berkata Abdullah Ibnul Mubarak yang diriwayatkan oleh Wahab bin Munabbih, "Seorang ahli ibadah berkata kepada para sahabatnya: Sesungguhnya kami telah meninggalkan harta dan anak - anak kami, kami pun tidak kuatir akan tergelincir kepada perbuatan maksiat, atau menyeleweng dari perintah dan larangan Allah. Hanya kami kuatir kalau-kalau kami telah menyeleweng dalam urusan agama melebihi yang diselewengkan para hartawan dalam hal harta dan pengikut-pengikutnya.
Sebab ada di antara kami yang ingin dihormati karena perasaan mereka telah taat beragama. Apabila mempunyai kehendak (hajat) minta agar didahulukan karena merasa orang yang taat beragama, demikian juga bila agar dimurahkan karena merasa taat beragama
Ketika nasihat ini didengar oleh Raja yang berkuasa di negeri tersebut, ia pun datang untuk mengunjungi hamba yang alim itu agar mendapat nasihat-nasihatya. Ketika tiba di tempat, banyak orang yang sedang mendengar nasihat orang alim itu. Akan tetapi ketika orang alim ini mengetahui Raja akan mengunjunginya, ia pun mengambil sepiring nasi lalu dimakannya dengan sangat lahap dan rakus. Ketika Raja sudah berada di dalam Majlis ia pun bertanya, "Siapa di antara kalian orang alim yang suka memberi nasihat dan fatwa agama itu? mereka menjawab, "Orang yang sedang makan itu." Raja bertanya kepada hamba yang alim itu "Bagaimana keadaanmu?" Ia menjawab, "Seperti yang Tuan lihat, sama dengan orang-orang lain juga." Dengan agak sedikit geram, Raja memerintahkan kepada rombongannya agar segera meninggalkan tempat itu, seraya berkata, "Tidak perlu mengunjungi orang ini karena tidak ada manfaatnya." Ketika raja telah keluar, maka berkatalah.itulah hamba yang alim ini: "Alhamdulillahi Rabbil Alamin, yang nyuruh engkau pergi adalah Allah swt, bagi-Nya segala puja dan puji. Karena itu kamu pun jadi mencelaku."
Kisah di atas memberi pelajaran bagi kita, bahwa sebenarnya orang- orang alim itu tidak suka disanjung-sanjung dan dihormati berlebih- lebihan. Cukuplah apabila masyrakat dan para sahabatnya mencintainya, mengikuti fatwa dan nasihatnya, dan mengikuti sepak terjangnya. Semuanya dilaksanakan dengan jujur dan tulus ikhlas. Demikian juga halnya para Ulama, Kiai, para Dai, berharap seperti tersebut di atas.
Kisah di atas menunjukkan, bagaimana si alim tadi berusaha menghindarkan diri dari sifat kibir dan riya' yang sangat ditakutinya, agar menjadi pelajaran bagi pengikut dan sahabat-sahabatnya.
Memang, sifat riya', termasuk sifat manusia pada umumnya. Sedikit atau banyak sifat riya' itu pasti ada dalam hati seorang manusia. Hanya prosentasenya sajalah yang tidak sama.
Seorang Ulama pernah berkata, "Yang paling mulia di dunia ini adalah ikhlas. Sudah beberapa kali aku berusaha mati-matian, agar riya' dalam hatiku hancur berantakan, setelah sifat riya' itu gugur, bersamaan dengan itu timbul pula riya' baru, dalam bentuk baru dan corak yang baru pula.”
Ikhlas dalam ibadah hendaklah dimiliki oleh setiap muslim, sebab ikhlas adalah dasar dari semua ibadah dan muamalah. Allah swt berfirman dalam Al-Qur'an surat Al Bayyinah ayat 5, "Dan tiada mereka diperintahkan, kecuali menyembah Allah (beribadah) dengan penuh keikhlasan, baginya mengikuti ajaran agama dengan jiwa yang hanif (semata-mata Islam)."
Beragama dengan hati ikhlas, mengamalkan semua ajaran agama dengan kesucian jiwa dan mencari rida Allah semata. Sehingga dengan cara ini Allah swt akan melimpahkan kita karunia yang besar, dan tidak kita duga. Dalam satu kabar diterangkan, "Hendaklah engkau berhati ikhlas dalam beramal ibadah, niscaya amalmu yang sedikit, Insya Allah cukuplah kiranya untukmu."