Tentang Rezeki yang Telah Ditetapkan

اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ ٠ 

“Kesungguhan dalam mencari rezeki yang telah dijamin oleh Allah akan mendapatkannya, dan mengurangi dari apa yang diwajibkan pada mu, adalah termasuk sifat yang menunjukkan basirah (mata hati) yang tertutup," Sesuatu yang telah dijamin oleh Allah kepada seorang hamba adalah trzeki. 

Sesuatu yang diminta pertanggungjawaban oleh Allah adalah rezeki juga. Pertanggung jawaban itu, tidak lain ialah menempatkan harta yang telah dianugerahkan Allah kepada para hamba ialah dengan menjadikan harta berfungsi ibadah. Dengan demikian setiap harta kekayaan yang dijamin oleh Allah kepada manusia, hendaklah berfungsi lienar sebagai barang jaminan yang diberlakukan sebagai ibadah untuk kepentingan yang berfaedah bagi si pemilik dan bermanfaat pula bagi sesama hamba Allah. 

Sebab harta yang menjadi jaminan itu akan ditarik kembali oleh Allah apabila harta itu tidak memberikan manfaat bagi agama, sesama hamba, dalam hubungannya dengan keagungan nama Allah Swt. Jaminan itu, berarti Allah Swt adalah pemilik yang sah dari semua harta yang ada di tangan manusia. Allah Swt akan rida apabila rezeki Allah itu akan menghidupkan syariat, kesejahteraan para hamba Allah, dan tentu Allah akan murka apabila rezeki itu jatuh ke tempat maksiat. 

Selain itu pengertian yang dapat diambil dari perkataan sungguh-sungguh di atas, adalah menunjukkan kemampuan yang cukup untuk mendapatkan rezeki yang telah ditebarkan Allah Swt di muka bumi ini. 

Kesungguhan mendapat rezeki Allah itu menjadi suatu keharusan, bahkan bisa menjadi wajib apabila rezeki itu akan berguna bagi ibadah seorang hamba. Mencari rezeki Allah itu bagi manusia telah menjadi sunnatullah. Jaminan Allah atas rezeki manusia, sebagaimana pula Allah telah menjamin rezeki bagi seekor anak hewan yang baru lahir dan membiarkannya hidup, karena Allah telah menyediakan rezeki. Demikian juga halnya binatang melata ketika lahir, mampu melangsungkan hidupnya karena jaminan Allah atas rezekinya masing- masing. Sebagaimana Allah berfirman: "Tiada seekor binatang melata pun di muka bumi ini, melainkan telah dijamin oleh Allah rezekinya..." (Hud: 6) 

Dalam menuntut rezeki di dunia ini Allah tidak akan memaksa manusia agar mendapatkan harta yang berlimpah-limpah. Manusia diberi kesempatan memenuhi kebutuhan hidupnya menurut kemampuan mereka masing-masing. Yang diajarkan oleh Islam dalam masalah harta ialah agar manusia tidak bersikap berlebih-lebihan. Karena sikap ini akan membawa ketamakan. Sedangkari ketamakan akan menjurus kepada kerusakan dan aniaya. Sikap rakus dan aniaya itu akan membutakan hati manusia. 

Orang mukmin ketika mencari rezeki dengan sungguh-sunguh selalu memperhatikan pula cara ber-muamalah, sikap hati-hati, serta mampu membedakan antara harta yang halal dan harta yang haram. 

Jaminan yang telah diberi oleh Allah dalam hal rezeki ini seperti difirmankan dalam Al-Qur'anul Karim: "Perintahlah keluargamu mendirikan salat, dan berlaku tabahlah menghadapi hidup. Tak perlu kamu bertanya soal rezeki." (QS. Al-Isra': 13) 

Karena Allah telah menjamin rezeki hamba-hamba-Nya, maka kesungguhan hamba untuk berikhtiar dan memohon dari Allah sangat dituntut. Pemberian Allah kepada manusia sesuai dengan ketaatan manusia kepada Allah. 

Seperti sudah dijelaskan di atas, bahwa kedudukan seorang hamba dalam kaitannya dengan rezeki yang diterimanya dari Allah, sangat nat dengan anugerah yang harus dijaganya. Rezeki sebagai pemberian Allah, haram untuk di sia-siakan, dan wajib untuk di manfaatkan bagi agama Allah dan sesama hamba-Nya. 

Rezeki banyak kaitannya dengan persiapan manusia untuk berjumpa dengan Allah. Rezeki selain menjadi bekal hidup dunia, termasuk pula untuk bekal hidup di akhirat. Apabila harta yang telah ili rezkikan kepada manusia dipergunakan untuk kepentingan agama dan amal saleh, seperti menginfakkan dan menzakatkannya. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Berbekallah kamu, karena sebaik- baiknya bekal adalah menunjukkan ketakwaanmu kepada Allah." (QS. Al-Baqarah: 197) 

Ketakwaan dalam harta, tidak lain adalah memberikan harta itu kepada hamba Allah yang berhak menerima. Karena dalam harta setiap muslim itu terkandung hak orang-orang dhu'afa.