Syarat Nikah dalam Al-Quran dan Hadits

Syarat - syarat Nikah Allah SWT menetapkan syarat-syarat yang bisa menciptakan kelanggengan pernikahan. Ini merupakan hikmah dan rahasia Allah dalam melegitimasi nikah. Syarat-syarat tersebut di antaranya: 

a . Kerelaan kedua calon pengantin 

Syarat ini adalah yang paling penting. Karena itulah pihak laki-laki tidak boleh memaksa wanita untuk menikah. Demikian juga halnya dengan pihak wanita, tidak dibolehkan memaksa laki-laki untuk menikahinya. 

Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa." (Q.S.An Nisaa':19) 

Rasullullah SAW juga telah bersabda: 

"Janganlah kamu menikahi wanita (baik yang masih kecil atau sudah besar) sampai kamu minta kesiapannya, dan janganlah kamu menikahi seorang perawan sampai kamu minta izinnya. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah SAW, bagaimanakah izinnya? Rasul menjawab: Dia berdiam diri. " (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi: menurutnya Hadits Hasan Shahih, Ibu Majah, An-Nasa'i, Abu Daud, Ahmad dan Darami) 

Maka haram hukumnya menikahi wanita tanpa kerelaannya (ridha), baik wanita tersebut masih perawan ataupun sudah pernah menikah. Dalam satu riwayat dijelaskan: “Seorang perawan, yang meminta izin adalah ayahnya." 

Kita banyak mendengar kisah-kisah menyedihkan tentang pernikahan dengan terpaksa padahal mereka tidak menghendakinya. Bahkan terkadang hal ini menjadi suatu tradisi yang tidak ada dasarnya dalam Islam. Mereka memaksa puterinya agar menikah dengan putera pamannya sendiri. Hal ini , adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal. Tradisi ini banyak menimbulkan masalah dan tidak jarang berujung dengan perceraian yang berdampak kurang baik kepada anak- anaknya. 

Diriwayatkan dari Khunsa binti Jadzam, bahwa ia telah dinikahkan oleh sang ayah tanpa seizinnya saat itu Khunsa adalah seorang perawan, maka Khunsa mendatangi Rasulullah SAW, dan Rasulullah menolak nikahnya.(H.R. Ibnu Majah) 

Betapa lalainya para ayah akan perintah Rasulullah dalam hal izin nikah puterinya yang masih perawan sebelum melangsungkan pernikahan. Kelalaian ini bisa berakibat fatal. 

Ada satu kisa yang bisa diambil ibrah, yaitu saat Hindun menikah dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, salah satu gubernur di masa al-Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Suatu hari Hindun berdiri di muka cermin seraya bersenandung: 

Tiadalah Hindun kecuali anak, kuda Arab 
Anak perempuannya kuda ang dibebaskan oleh bagal 
 Bila Hindun melahirkan anak kuda maka betapa bagusnya 
Dan bila ia melahirkan bagal maka bagal akan membawanya. 

Di saat yang sama, al-Hajjaj ternyata sedang berada dibalik hijab dan mendengar apa yang dikatakan oleh Hindun. Al- Hajjaj berkata dengan gusar, Wahai Hindun, sesungguhnya kamu dalam lindunganku tapi sekarang engkau aku cerai. Dengan cepat Hindun menjawab perkataan suaminya,"Kita memang pernah bersama tapi kita tidak bahagia, maka dengan hal ini (terjadinya perceraian) kita tidak menyesal." 

 Ibnu Muflih al-Maqdasii berkata: Syaikh Taiyuddin telah berkata: "Sesungguhnya tidak ada hak bagi orang tua manapun mewajibkan putera-puterinya menikah dengan seseorang yang tidak disukainya, dan apabila si anak menolak maka tidak dikategorikan sebagai pembangkang." 

Dengan demikian apabila kerelaan untuk menikah tidak datang dari kedua belah pihak calon pengantin, maka akad nikah menjadi tidak sah (fasid). 

b. Wali 

Hendaknya seorang wanita dinikahkan oleh walinya, sebagaimana sabda Nabi SAW: 

"Tiada nikah kecuali hanya dengan wali." (H.R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad- Darami) 

Jika wanita menikah sendiri tanpa wali maka nikahnya batal (bathil), sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba - hamba sahaya-mu yang perempuan." (Q.S.An Nuur: 32) 

Lafadz "ankihuu" (kawinkanlah) ditujukan kepada para wali. Masih firman Allah SWT juga: 

"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman." (Q.S. Al Baqarah: 221) Syahid (dilalah) di sini juga ditujukan untuk para wali. Juga firman Allah SWT: 

"Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya." (Q.S. Al Baqarah: 232) 

Syahid di sini juga sama seperti yang di atas. Wali yang dimaksud adalah laki-laki yang baligh, berakal, dan sudah dewasa. Wali harus seorang muslim jika wanitanya muslimah dan masih sanak kerabat dari pihak wanita, seperti: Ayah, kakek dari ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki- laki dan seterusnya ke bawah, saudara sepupu laki-laki, saudara laki-laki dari ayah, paman sepupu, paman dari ayah dan anak laki-laki mereka yang lebih dekat. 

Selain di atas tadi tidaklah memiliki otoritas sebagai wali, mereka adalah: Saudara laki-laki dari pihak ibu dan anak laki - laki dari mereka, ayah dari pihak ibu dan paman dari pihak ibu. Karena mereka tidak dikategorikan masuk ke dalam pertalian keluarga (nasab). Dengan demikian apabila seorang wanita tidak memiliki wali maka hakimlah yang menjadi wali untuk melangsungkan akad nikah. 

c. Calonnya jelas dan tertentu 

Hendaknya wanita yang akan dinikahi oleh seorang laki- laki telah ditentukan dengan jelas baik dari nama ataupun sifatnya sehingga tidak terjadi kesalahan penentuan dari saudara-saudaranya yang lain. Contohnya, seorang ayah berkata, Aku nikahkan anak saya 'Fulanah' atau anak saya yang paling besar, ini bisa membedakan satu dari yang lainnya. Maka seandainya seorang ayah mengatakan,"Aku nikahkan salah satu puteri saya", maka akad nikahnya menjadi tidak sah (bathil), karena tidak jelas dan tertentukan. 

d. Saksi 

Maksudnya adalah adanya dua orang saksi saat berlang- ungnyaakad nikah. Syarat sahnya saksi adalah harus adil dan bisa diterima oleh masyarakat yang lainnya. Madzhab Hambali berkata dalam qoul masyhurnya bahwa disyaratkan dua orang saksi itu bukan berasal dari asal (ushul)nya pihak laki-laki atau furu'nya (cabang) dan juga sebaliknya bukan berasal dari pihak wanita. Yang dimaksud dengan ushul di sini adalah ayahnya ayah dan seterusnya ke atas. Sedangkan furu' adalah anak laki-laki dan seterusnya turun ke bawah. Tetapi menurut pendapat yang rajih (unggul) adalah tidak menjadi masalah dua orang saksi berasal dari golongan ushul atau furu' meskipun dari pihak wanita, laki- laki ataupun wali. 

Selain syarat-syarat nikah diatas, ke-kufu'an (kesepadaan) antara kedua calon pengantin merupakan hal yang dapat diperhatikan dalam pernikahan. Madzhab Maliki berpendapat bahwa kesepadanan hanya masuk dalam lingkup agama dan kondisi, yaitu terhindar dari kekurangan (aib) yang bisa mengharuskan khiyar (memilih). Kendati demikian, jumhur ahli 'ilmi berpendapat bahwa kufu' yang dimaksud berkaitan erat dengan agama, keturunan, kebebasan dan profesi. Madzhab Hambali dan Hanafi menambahkan dalam hal ini kesepadanan dalam harta. 

Kesepadanan dalam agama merupakan prasyarat yang menjadi kesepakatan ulama. Maka tidak sah nikahnya wanita muslimah dengan laki-laki yang non muslim. 

Dalil-dalil yang menyinggung validitas kesepadanan sangatlah banyak, di antaranya firman Allah SWT: 

"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang - orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu," (QS. A1 Baqarah:221) 

 Juga firman Allah SWT: 

"Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu." (Q.S.A1 Hujuraat: 13) 

Sabda Rasul SAW juga mensinyalir: "Apabila telah datang kepadamu seseorang yang kamu semua merasa ridha dengan agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, karena jika tidak kamu nikahkan maka menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (H.R.Tirmidzi dan Ibnu Majah) 

Kendati demikian, kesepadanan bukanlah termasuk dari syarat sahnya nikah. Nikah tetap sah sekalipun tidak ada kesepadanan antara kedua calon pengantin. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki - laki yang menikahkan puteri saudaranya. Calon suaminya adalah orang fasik yang tidak shalat. Laki-laki tersebut menakut-nakuti wanita tadi agar ia setuju untuk dinikahi. 

Syaikhul Islam menjawab, Segala puji hanya bagi Allah, sesungguhnya tidak ada hak bagi paman dan lainnya yang tergolong wali untuk menikahkan puterinya dalam kondisi yang tidak sepadan apabila sang puteri tidak rela. Hal ini sudah menjadi satu kesepakatan di antara beberapa imam fiqih, dan jika sang wali masih melakukannya maka ia terkena sangsi hukuman syara' yang bisa mengurungkan niatnya. Akan tetapi apabila sang wanita rela menikah dengan calon suami yang tidak sepadan (kufu’ ) maka bagi wali yang tidak menikahkannya bisa menggugat untuk menggagalkan (memfasakh). Tidak ada hak pula bagi seorang paman memaksa seorang wanita yang telah baligh agar menikah kendatipun dalam kondisi kufu', apalagi menikahkannya dalam kondisi yang tidak sepadan. Pada kesimpulannya, nikahnya sang wanita sebagaimana kesepakatan kaum muslimin harus disertai kerelaan sang wanita. 

Apabila seorang wali berkata kepada puterinya, "Hendaknya kamu setuju menikah, maka kalau tidak niscaya calon suamimu adalah orang yang bukan pilihanmu." Dalam keadaan seperti ini jika sang wanita memberikan izin, maka izin yang dikeluarkannya tidak sah begitupun nikah yang telah dilangsungkan. Sesungguhnya syara' sebagaimana sudah menjadi kesepakatan para imam fiqih tidak menghendaki adanya pemaksaan wanita yang masih kecil untuk menikah kecuali dari pihak ayah dan paman. Sedangkan wanita yang telah dewasa, para ulama berselisih pendapat tentang posisi ayah dan paman dalam pemaksaan nikahnya. 

Syarat-syarat dalam nikah (as-syuruth fin nikah) dengan syarat-syarat nikah (syuruthun nikah) sangatlah berbeda ruang lingkupnya. Syarat-syarat nikah adalah beberapa syarat dimana sahnya nikah hanya dengan memenuhi semua syarat-syaratnya, dan jika salah satu di antara syarat tersebut tidak dipenuhi maka nikahnya batal. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat-syarat untuk nikah adalah beberapa syarat yang ditetapkan oleh wali wanita untuk calon suami. Apabila sang calon suami melanggar salah satu syarat ini atau tidak bisa memenuhi salah satunya, status nikahnya tidak batal akan tetapi bagi wanita mempunyai hak untuk mengajukan permintaan fasakh akad. 

Bagi seorang suami harus komitmen mematuhi dan memenuhi syarat tersebut selama ia telah rela dan bersedia untuk mematuhinya ketika akad. Dalam Islam telah disinyalir tentang hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW: "Syarat yang lebih utama adalah hendaknya kamu memenuhi sesuatu yang bisa menghalalkan kemaluan wanita." (H.R. Bukhari dari hadits Aqbah bin Amir) 

Landasan tadi merupakan dalil yang sangat khusus (khos), adapun dalil yang bersifat umum ('aam) sebagaimana hadits Rasul SAW: "Kaum muslim adalah tergantung dengan syarat- syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang menghalalkan suatu keharaman dan mengharamkan suatu kehalalan. "(H.R. Bukhari) 

Yang perlu diketahui adalah bahwa syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh sang calon suami adalah syarat-syarat yang dilegalkan oleh syara' dimana tidak menghilangkan makna nikah dan tujuannya, seperti syarat perlakuan dengan baik, memberikan nafkah, dan melaksanakan kewajiban dan sebagainya. Kendatipun syarat-syaratnya menyangkut urusan dunia selama tidak menyimpang dari garis-garis syara' seperti syarat kelanjutan studi buat sang isteri dan sebagainya, diperbolehkan.