Mengenal Allah SWT. dengan penglihatan mata hati, tidak dengan penglihatan mata kepala. Allah SWT. telah memberi fitrah kepada manusia sejak ia masih dalam kandungan ibunya.
Allah SWT. menuntut kepada manusia agar mengenal-Nya dengan fitrah tersebut, karena hanya Allah SWT. yang melindungi dan menciptakan.diri manusia.
Akan tetapi, kalau tidak mendapatkan anugerah dari Allah SWT., niscaya manusia itu tidak akan mengenal Allah secara hakiki, meskipun manusia itu telah diberi oleh Allah SWT. berupa fitrah.
Pernah berkata Abu Bakar Asy-Syibli : "Allah SWT. adalah Dzat Yang Maha Esa, dan diketahui akan keesaan-Nya itu sebe¬lum adanya batasan dan huruf, Maha Suci Allah yang tidak ada batasan bagi Dzat-Nya dan juga tidak ada huruf bagi kalam-Nya".
Oleh karena itu, jika manusia tidak mendapatkan sebuah anugerah dari Allah SWT., maka manusia akan terbentur dan akan menemui bermacam-macam faham keyakinan yang me¬nyimpang daripada tuntutan Allah SWT. sendiri.
Sebagai contoh yang berkaitan dengan hal tersebut di atas pulalah Raja Fir'aun pada zaman Nabi Musa as. yang mana menganggap dirinya sebagai Tuhan. Raja Namrut menyembah berhala pada zaman Nabi Ibrahim Al-Khalil.
Manusia jika telah dibukakan jalan Ma'rifatullah, maka sungguhnya dengan kema'rifatan itu jangan sampai manusia menghiraukan amalannya yang sedikit, sebab sesungguhnya Allah SWT. tidak akan membuka jalan kema'rifatan baginya kecuali hanya Allah SWT. menghendaki pengenalan kepada- Nya.
Berkaitan dengan ini, Imam Ruwaim bin Ahmad pernah .lilanya oleh seseorang tentang permulaan kewajiban Allah SWT. kepada hamba-Nya, maka oleh Ruwaim dijawabnya : "Ma'rifat".
Dalam hal ini didasarkan pada sebuah firman Allah yaitu berbunyi:
Artinya :
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk me¬nyembah (Ku)". (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Kalimat "ILLAA LIYA'BUDUUN", oleh Ibnu Abbas diartikan sebagai "ILLA LIYA'RIFUUN" (kecuali untuk berma'rifat yaitu mengetahui, sadar dan yakin akan keberadaan Allah SWT.).
Bahwa Ma'rifat itu adalah sebuah anugerah dari Allah SWT. kepadanya, sedangkan amal perbuatan manusia hanyalah merupakan sebagian imbalan sebagai pengabdian kepada- Nya, tidakkah manusia itu mengerti?
Antara pengabdian manusia kepada Allah SWT. dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, jika demikian adanya, sekarang di manakah letak perbandingannya ?.
Berkata Imam Al-Junaid, "Sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh seorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta atas keterciptaan dirinya".
Bagaimana tentang kebaruan dirinya, sifat keberbedaan Sang Pencipta dari sifat makhluk yaitu keberadaan "Dzat yang Lama" dari "yang baru" (alam), menurut pada ajakan-Nya, serta mengetahui keharusan diri untuk bertaat kepada-Nya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui Dzat Sang Penguasa alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kera- jaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa".
Di samping itu juga Al-Junaid berkata bahwa seorang ahli ma'rifat membatasi tingkah lakunya itu dalam empat macam perkara :
1) . Orang ahli ma'rifat mengenal Allah, sehingga ia berkomu¬nikasi langsung antara dia dengan Allah tanpa ada peran¬tara.
2) . Dasar hidup dan juga kehidupannya telah mengikuti sun- nah Rasulullah saw, yaitu meninggalkan akhlak yang ren¬dah serta hina.
3) . Mengikuti hawa nafsu yang dikehendaki oleh Allah SWT. pada ajaran Al-Qur'an.
4) . Merasa dirinya adalah hanya milik Allah SWT. dan hanya kepada Allah SWT. ia akan kembali.
Bahwa ma'rifat itu ialah sifat orang yang mengenal nama- nama dan sifat-sifat Allah, sebagai bukti pengenalannya ialah ketundukannya kepada Allah, dengan cara meninggalkan sifat- sifat yang sangat tercela, serta selalu ingat kepada Allah SWT., hingga Allah SWT. mencintainya dan juga memberikan karunia kepadanya yang berupa petunjuk, sehingga dengan petunjuk itu ia tidak lagi dapat dipalingkan oleh apapun ke arah yang tidak diridhai oleh Allah SWT. (menurut pendapat orang-orang ahli Shufi).
Sedangkan menurut dari pendapat Imam Ghazali bahwa ( dia telah menerangkan Ma'rifat menurut pengertian bahasa
yaitu ilmu pengetahuan yang tidak bercampur dengan keraguan yang obyek pengetahuan tadi adalah Dzat Allah SWT. dan dengan sifat-sifat-Nya.
Telah berkata Abu Zakariyah Al-Anshari bahwa Ma'rifat itu ialah ilmu pengetahuan yang telah sampai ke tingkat keyakin¬an yang mutlak dalam mengesakan Allah SWT..
Dan sebagai bukti tentang adanya Allah SWT. adalah orang sufi tidak menamakan setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu dengan sebutan 'Arif, akan tetapi orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan yang sangkut-paut dengan Allah |uga telah memikirkan segala yang tercipta atau diciptakan oleh Allah SWT.
Ma'rifat adalah pengetahuan terhadap sesuatu, baik Dzat ,itu sifat-Nya yang sangat sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengenal Allah SWT. adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang telah terpelit, sebab Allah SWT. itu tidak ada bandingannya.
Meskipun demikian adanya setiap makhluk Allah diwajibkan untuk mengenal Allah SWT. yakni mengenal Dzat serta Asma juga sifat-sifat dari Allah SWT (Pendapat dari Ibnu Athaillah mengenai arti ma'rifat).
Adapun menurut pendapat Zi Nun Al-Misri menerangkan bahwa Ma'rifat orang yang 'Arif itu akan secara terus-menerus bertambah, maka dengan bertambahnya Ma'rifat pasti akan bertambah pula dekatnya kepada Allah SWT
Dan Zi Nun Al-Misri menerangkan sebagai tambahan bahwa dirinya telah mengenal Allah SWT. itu dengan cara Nikmat Allah SWT., sebab kalau tidak dengan nikmat Allah maka 11 cirinya tidak akan dapat mengenal Allah SWT..
Ma'rifat itu dibagi menjadi dua macam oleh Ibnu Athailah yakni:
(1). Ma'rifat yang Umum ialah ma'rifat mengenal Tuhan yang diwajibkan kepada seluruh makhluknya, kemudian diwa¬jibkan untuk memujinya dengan pujian yang sesuai dengan keadaan pada setiap makhluk-Nya masing-masing.
(2). Ma'rifat yang Khusus adalah suatu pengenalan yang timbul dari Musyahadah.
Orang yang mengenal Dzat, sifat, asma juga af'al Allah dengan perantaraan musyahadah adalah disebut orang yang 'Arif, sedangkan orang yang telah mengenal tuhannya tanpa melalui musyahadah, namun hanya melalui kepercayaan biasa saja maka disebut orang 'Alim.
Seseorang tidak akan mencapai ma'rifat yang sampai ke tingkat yang paling tinggi dan yang paling sebenarnya, melainkan orang yang dikehendaki oleh Allah SWT., dan mereka itu ialah para Nabi dan juga orang Sidiq.
Dalam hal ini Rasulullah saw. juga pernah bersabda yaitu: "Aku tidak dapat menilai pujianku terhadap-Mu, sebagaimana yang kupuji terhadap Dzat-Mu".
Ma'rifat yang khusus menurut Imam Ghazali adalah keingi¬nan untuk mengenal Dzat, sifat Allah SWT. dan menolak segala sifat kekurangan dan juga menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah SWT., karena sangat sesuai sekali dengan ajaran Al- Qur'an dan Sunnah serta Ijma' Ummat, maka ma'rifat seperti inilah yang wajib bagi setiap insan.
Di samping itu juga Al-Ghazali membagi Ma'rifat itu menja¬di dua bagian yaitu :
1) Ma'rifat Dzat yakni pengetahuan seseorang terhadap Allah SWT., bahwa Allah SWT. itu ada, Maha Esa tidak terbilang. Ia adalah Dzat Yang Maha Agung, yang ada dengan sendirinya dan juga tidak ada yang lain, yang menyerupai Allah SWT..
2) Ma'rifat Sifat yaitu pengetahuan bahwa Allah SWT. itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat dan lain sebagainya mengenai masalah sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Dan sebagai tanda Ma'rifatullah ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Allah, siapa yang bertambah ma'rifat maka bertambah pula takutnya kepada Allah SWT., (ungkapan Abu Ali Daqaq).