Bid'ah-Bid'ah dengan Jenazah

1. Semua yang berlawanan dengan adab mengantar mayit yang telah kita terangkan di atas, adalah bid'ah-bid'ah yang patut dihindari, seperti mengantar mayit dengan naik kendaraan dan membaca-baca dengan suara keras. 

2. Membawa karangan-karangan bunga dan lain sebagainya menyertai janazah. Ini adalah bid'ah yang diharamkan yang telah menyusup ke dalam lingkungan kaum muslimin, karena meniru-niru kebiasaan orang-orang kafir dalam upacara-upacara kematian mereka. Padahal bid'ah seperti ini memuat penghamburan harta tanpa guna, memuat kesombongan dan penonjolan diri.

3. Kubur-kubur yang digali dan dibangun dengan cara yang berlawanan dengan apa yang telah kami terangkan di atas, mengenai dalam dan lebarnya, dan tentang keutamaan lahad dan parit. 


4. Makruh hukumnya memperkokoh kubur, baik dalam maupun luarnya, dengan apa pun yang terkena api, seperti semen, kapur dsb. Muslim (970) telah meriwayatkan dari Jabir RA, dia berkata:

 نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ 

Rasulullah SA W melarang membangun kubur dengan kapur. 

Bila dibangun dengan marmer dan sebagainya, itu bahkan haram, karena sangat bertentangan dengan larangan Rasulullah SAW, dan juga karena memuat penghamburan harta, yang menurut Syara' terlarang, di samping memuat kesombongan dan membanggakan diri yang dibenci dalam agama Allah 'Azza Wa Jalla. 

5. Makruh tahrim hukumnya mengkijing kubur dan membuat bangunan di atasnya, seperti yang dibuat banyak orang sekarang. Sedang menurut Sunnah Nabi, kubur itu tak boleh ditinggikan dari permukaan tanah lebih dari satu jengkal, karena ada larangan membuat seperti itu. 

Menurut riwayat Muslim (969) dan lainnya;

 اَنَّ عَلِيَّ بْنَ اَبِى طَالِبٍ رََضِيَ اللهُ عَنْهُُ، قَالَ ِلاَبِى الْهَيَّاجِ اْلاَسَدِيِّ، اَلاَ اَبْعََثُكَ عَلَى مَابَعَثَنِى عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَنْ لاَتَدَعَ تِمْثَالاً اِلاَّ طَمَسْتَهُ، وَلاَ قَبْرًا مُشَرَّفًا اِلاَّ سَوَّيْتَهُ 

Bahwa Ali bin Abu Thalib R A berkata kepada Abui Hayyaj al-Asadi: "Tidakkah aku kirim engkau sebagaimana aku pernah dikirim Rasulullah SAW (untuk melaksanakan sabda beliau): "Jangan kamu biarkan sebuah patung melainkan kamu binasakan, dan tidak pula sebuah kubur yang menggunduk melainkan kamu ratakan" 

Timtsal: gambar atau patung, yang di sini maksudnya, dari makhluk yang bernyawa. 

Sawwaitahu: kamu ratakan dengan permukaan tanah, dengan menonjol sedikit saja. 

6. Meratapi mayit dengan menyebut-nyebut kebaikan-kebaikannya -seperti kata-kata: "O, pelindungku! O, pemimpinku!"- dan melolong-lolong (niyahah), yakni perbuatan dan perkataan apa pun yang memuat arti menampakkan kegusaran, seperti memukul-mukul dada, merobek-robek leher baju dsb. Semua itu haram. Rasulullah SAW telah melarangnya lewat hadits-hadits shahih dan pernyataan- pernyatan yang tegas, karena berarti melawan kepatuhan dan tidak menerima keputusan (qadha') dan takdir Allah Ta'ala. 

Muslim (935) telah meriwayatkan dari Abu Malik al-Asy 'ari RA, bahwa Nabi SAW bersabda:

 اَلنَّائِحَةُ اَذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَررَبٍ 

Wanita yang meratap apabila belum bertaubat sebelum matinya, maka ia akan ditegakkan pada hari kiamat, sedang ia memakai baju dari ter dan baju dari kudis. 

Maksudnya, seluruh anggota tubuhnya tertutup kudis dan gatal seperti baju. 


Al-Qathiran: ter, dan diartikan pula sejenis getah pohon, digunakan untuk mengolesi unta yang kudisan. 

Dan al-Bukhari (1232) meriwayatkan pula dari Abdullah bin Mas'ud RA, dia berkata: Sabda Nabi SAW:

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْحُدُوْدَ، وَشََقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى االلْجََاهِِلِيَّةِ 

Tidak tergolong dari kami orang yang memukuli pipi dan merobek- robek leher baju dan mengucapkan kata-kata Jahiliyah. 

Al-Juyub: jamak dari jaib, yaitu leher baju. Maksudnya, merobek bajunya dari arah leher. 

Da'a bi da'wa '1-Jahlliyah: mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan oleh orang-orang Jahiliyah, umpamanya: O, pelindungku! O, sandaran rumah-tanggaku! Dan lain sebagainya. 

Tapi, tidak mengapa tangisan yang wajar, yang timbul karena perasaan belas-kasih dan tidak tega. 

Al-Bukhari (1241) dan Muslim (2315, 2316) telah meriwayatkan:

 اَنَّهُصَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكَى عَلَى وَلَدِهِ اِبْْرَاهِيْمَ قَبْلَ مَوْتِهِ، لَمَّا رَاَهُ يُجَوِّدُ نَفْسَهُ، وَقَالَ: اِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ اِلاَّ مَايُرْضِى رَبَّنَا، وَاِنَّا بِفِرَاقِكَ يَااِبْْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْلُونَ 
\
Bahwasanya Nabi SAW menangisi putranya, Ibrahim, menjelang wafatnya, ketika dilihatnya menghembuskan nafasnya yang penghabisan, seraya katanya: "Sesungguhnya mata ini berlinang, dan hati pilu, tapi kami hanya mengucapkan kata-kata yang menyenangkan Tuhan kita. Dan sesungguhnya kami benar-benar sedih atas kepergianniu, hai Ibrahim." 

Sementara itu Muslim (976) meriwayatkan pula, dari Abu Hurai- rah RA, dia berkata:

 زَارَ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَاُمِّهِ فَبَكَى وَاَبْكَى مَنء حَوْللََهُ 

Nabi SAW pernah berziarah ke kubur ibundanya. Maka, beliau menangis, dan menangis pula karenanya orang-orang di sekelilingnya. 

7. Membikin keluarga si mayit sibuk membuat makanan dan mengumpulkan orang banyak, sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan sekarang ini, adalah bid'ah yang berlawanan dengan as-Sunnah dan bertentangan sangat dengannya. 

Sunnah Nabi justru sebiliknya. Yaitu, hendaknya sebagian dari orang-orang yang mengantar mayit itulah yang menyediakan makanan dan mengirimnya kepada keluarga si mayit. Atau, keluarga si mayit itu diundang makan ke rumah seseorang. Dan dianjurkan agar makanan itu cukup banyak, sehingga mencukupi seluruh ke-luarga si mayit itu sehari-semalam. Dan itu semua adalah berdasarkan sabda Nabi SAW. Yaitu, ketika datang berita terbunuhnya Ja'Far bin Abu Thalib, maka sabdanya:

 اِصْنَعُوا ِلاََلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَااِنَّهُ قَدْجَاءََهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ 

Buatlah makanan untuk keluargaJa'far. Karena mereka sesungguhnya telah ditimpakesibukan. (HR. at-Tirmidzi: 998, dan Abu Daud: 3132 dan lainnya). 

Namun demikian, menyuguhi makanan untuk orang-orang yang meratap dan semisalnya adalah haram, baik dari keluarga si mayit atau bukan. Karena hal itu akan membantunya maksiat dan men¬dorongnya meneruskan perbuatannya. 

Dan termasuk bid'ah pula, apa yang biasa dilakukan oleh keluarga mayit, yaitu mengumpulkan orang banyak untuk makan- makan, berkenaan dengan apa yang mereka sebut "mengempat- puluh hari" dan sebagainya. Bahkan, apabila biaya untuk makanan tersebut berasal dari harta warisan, padahal di antara ahli waris terdapat anak-anak yang belum dewasa, maka perbuatan seperti ini lebih haram lagi. Karena berarti memakan harta anak yatim dan menyia-nyiakannya untuk sesuatu yang tidak maslahat. Dalam hal ini, baik yang mengundang makan maupun yang diundang sama- sama berdosa. 

8. Membaca al-Qur'an dalam pertemuan-pertemuan resmi untuk berta'ziyah, dengan cara seperti yang biasa dilakukan sekarang, ini pun bid'ah pula. Ta'ziyah kepada keluarga mayit hanya disunnatkan selama tiga hari sejak wafatnya, demikian kesepakatan para Ulama'. Yakni ta'ziyah di mana keluarga mayit tak perlu mempersiapkan sesuatu Untuknya.