Musyarathah Mencapai Keteguhan Hati ke Jalan Allah

Musyarathah adalah yang mensyaratkan pada dirinya sejak hari pertamanya agar pada hari itu jangan melakukan perbuatan apa pun yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah, serta mengambil ketetapan dan keteguhan hati dalam hal tersebut." Masalah keteguhan hati di sini berpulang pada kemampuan setiap orang. Barangsiapa meninggalkan sebagian kewajiban atau melakukan sebagian keharaman, maka ia harus berteguh hati untuk melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua keharaman. 

Barangsiapa sampai pada batasan ini, yang tidak meninggalkan suatu kewajiban dan tidak melakukan suatu keharaman, maka ia harus berteguh hati untuk berpindah ke fase yang di situ ia tidak meninggalkan pekerjaan mustahabb [sunna] dan tidak mengerjakan kemakruhan. Barangsiapa sampai pada fase tersebut, maka ia harus berketetapan hati untuk tidak melakukan perbuatan mubah, melainkan melakukan semua perbuatannya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, apabila ia sampai ke fase ketakwaan, ini maka ia berteguh liati untuk berpindah ke batin nya untuk melatih dirinya tidak berpikir tentang kemaksiatan untuk selama-lamanya, yaitu tanpa melakukannya. Demikianlah, setiap kali ia menaiki tingkatan demi tingkatan ibadah yang telah dikemukakan, maka ia melihat martabat dan tingkatan yang lebih tinggi dan berteguh hati untuk mencapainya. 

Jadi, musyarith (orang yang melakukan musyarathah) harus menentu­kan posisinya terlebih dahulu. Apabila ia telah menentukannya, maka ia beralih ke langkah berikutnya, lalu mensyaratkan atas dirinya—misalnya—agar meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah dalam satu hari. "Jelaslah bahwa meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah untuk satu hari sangatlah mudah dan seseorang dapat dengan mudah berpegang padanya" walau­pun tingkat kemudahannya untuk setiap orang berbeda-beda. "Oleh karena itu, berteguh hatilah, bersyaratlah, dan cobalah dengan sungguh-sungguh, serta perhatikan bagaimana perkara itu begitu mudah." Sebab, Allah SWT telah memberikan kemudahan kepada hamba. Maka, Kami akan memudahkan baginya dengan semudah-mudahnya jika ia berte­guh hati untuk melakukannya. 

Kalau dalam suatu hari seseorang ikhlas maka ia pun mampu ikhlas dalam dua hari, tiga hari, dan seterusnya, hingga terwujudlah padanya substantiasi: "Barangsiapa ikhlas kepada Allah selama empat subuh (hari), maka sumber-sumber hikmah muncul dari hatinya ke lidah­nya. [Musnad asy-Syubhat, karya al-QadhI al-Qadhai, Mu'assasah ar-Risalah, Beirut: 1405, 1: 285/466.]" 

Barangsiapa yang selalu berada dalam keadaan suci [dari hadas] dalam satu hari, lalu dua hari dan tiga hari hingga ia selalu berpegang pada kesucian, maka ia dapat mewujudkan sabda Rasulullah saw., "Biasakanlah selalu dalam keadaan suci [dari hadas] maka rezeki akan terus melimpahimu." Jika kesuciannya merupakan kesucian lahiriah maka rezekinya pun berupa rezeki lahiriah. Jika kesuciannya merupakan kesucian batiniah, maka rezekinya pun berupa rezeki batiniah, yaitu makrifat-makrifat Ahlul Bait a.s. 

Kalau seseorang mengikuti hal ini, maka ia akan menemukan banyak sekali peluang untuk dicoba. Dengan berpegang pada perbuatan perbuatan baik dan secara bertahap, ia akan meraih banyak kebaikan dari keberkahan, baik yang bersifat materi maupun yang bersilat spritual. 

Dalam pada itu, seseorang tidak sepantasnya membebani dirinya di luar kemampuannya. Akan tetapi, ia harus memulai dengan perbuatan-perbuatan ringan, mudah, dan terbatas, bukan perbuatan-perbuatan berat dan sulit yang tidak mampu dilakukannya sehingga ia berputus asa dan meninggalkan perbuatan tersebut. Selain itu, tidak sepatutnya pula ia melewati fase-fase dan tingkatan-tingkatan perjalanan spiritual sekaligus. Akan tetapi, ia harus menaiki tingkatan demi tingkatan dan fase demi fase. Banyak riwayat menunjukkan pengertian ini, di antaranya sebagai berikut. 

Pertama, diriwayatkan dari Abu Abdullah a.s. bahwa beliau berkata, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla menempatkan keimanan dalam tu­juh bagian, yaitu pada kebajikan (al-birr), ketulusan (ash-shidq), keyakinan (al-yaqin), keridhaan (ar-ridha), kesetiaan (al-waja'), pengetahuan (al-ilm), dan kesabaran (al-hilm). Kemudian, Allah membagikan hal itu kepada seluruh manusia. Barangsiapa memiliki tujuh bagian ini maka kemungkinan ia menjadi orang sempurna. Allah membagi satu bagian kepada sebagian orang, tiga bagian kepada sebagian lain, dan tiga bagi­an kepada sebagian yang lain lagi hingga mereka sampai pada tujuh bagian." 

Kemudian, beliau berkata, "Janganlah membebankan dua bagian kepada pemilik satu baigan, tiga bagian kepada pemilik dua bagian se­hingga kalian memberatkan mereka." 

Selanjutnya, beliau berkata, "Demikianlah hingga mereka sampai pada tujuh bagian. [Ushul al-Kafi, karya al-Kulayni, jil. 2, bab Darajat al-Iman, hal. 35, hadis no. 1.]" 

Kedua, diriwayatkan dari Abd al-'Aziz al-Qaratisi: Abu Abdullah a.s. berkata kepadaku, "Wahai Abd al-Aziz, keimanan adalah sepuluh tingkatan seperti tangga yang dinaiki anak tangga demi anak tangga. Dengan demikian, pemilik dua tingkatan tidak akan berkata kepada pemilik satu tingkatan, 'Engkau bukan apa-apa sebelum sampai ke tingkatan kesepuluh. Janganlah menjatuhkan orang yang ada di bawah­mu sehingga orang yang ada di atasmu menjatuhkanmu. Apabila eng­kau melihat osang yang lebih rendah tingkatannya darimu satu tingkat, maka angkatlah dia ke tingkatmu dengan keramahan dan jangan membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya sehingga engkau mengecewakannya, karena barangsiapa mengecewakan seorang Mukmin, maka ia harus memulihkannya. [Ibid, bab Akhir min Darajat al-Iman, hal. 37, hadis no. 2 ]" 

Diriwayatkan dari Abu 'Abdullah a.s bahwa beliau berkata, "Seseorang memiliki tetangga seorang Nasrani, lalu ia mengajaknya ke dalam Islam dan menyebutkan hal-hal yang bagus-bagus kepadanya. Orang Nasrani itu pun menyambut ajakannya. Orang itu mendatanginya pada waktu sahur, lalu mengetuk pintu. Orang yang baru masuk Islam itu bertanya, 'Siapa?' Orang itu menjawab, 'Aku, fulan.' 'Apa keperluanmu?' ' Berwudhulah, pakailah pakaianmu, lalu kita pergi shalat!' Orang yang baru masuk Islam itu pun berwudhu, memakai pakaian, dan pergi ber­samanya. Kedua orang itu shalat [sunnah], lalu shalat subuh dan duduk hingga waktu pagi. Kemudian, orang yang baru masuk Islam itu ingin pulang ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Mau ke mana? Waktu siang sangat pendek, dan antara waktumu dan waktu zuhur juga sangat pendek.' Ia pun duduk bersamanya hingga waktu zuhur. Kemudian, orang itu berkata, 'Antara shalat zuhur dan asar wak­tunya sangat pendek. Oleh karena itu, tinggallah hingga waktu shalat asar.' [Setelah shalat asar] orang yang baru masuk Islam itu ingin kembali ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Ini adalah akhir siang dan lebih pendek daripada awalnya. Oleh karena itu, tinggal­lah hingga shalat magrib.' [Setelah shalat magrib] orang itu ingin pulang ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Tinggal satu shalat lagi.' Orang itu pun tinggal hingga shalat isya terakhir. Kemudian, kedua orang itu berpisah. Pada waktu sahur hari berikutnya, orang itu datang lagi dan mengetuk pintu. Orang yang baru masuk Islam berta­nya, 'Siapa?' Ia menjawab, 'Aku, fulan.' 'Apa keperluanmu?' 'Berwudhulah, pakailah pakaianmu, lalu kita pergi untuk shalat. Namun, orang yang baru masuk Islam itu menjawab, 'Carilah untuk agama ini orang yang memiliki waktu luang lebih banyak daripada aku. Aku sen­diri adalah orang miskin dan memiliki tanggungan.'" 

Kemudian, Abu 'Abdullah berkata, "Ia memasukkannya ke dalam sesuatu yang juga mengeluarkannya darinya." 

Atau, beliau berkata, "Ia memasukkannya dari seperti ini dan mengeluarkan dari seperti ini pula.[ Ibid, hal. 35, hadis no. 2]"

Al-Faydh al-Kasyam r.a. telah menunjukkan sebagian pembahasan yang berguna ini yang berkaitan dengan pembahasan musyarathah dan yang merupakan maqam pertama dari maqam-maqam murabathah [akan disampaikan pada lain bab}. Sebab, seseorang berada dalam jihad, dan dalam jihad harus penentuan posisi (ribath), walaupun berupa jihad kecil. Apalagi kalau jihad itu berupa jihad besar. Dalam masalah ini, Imam Khomeini r.a. berkata, "Setiap orang yang memiliki keteguhan hati, yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh lengah untuk mengevaluasi diri dan mempersempitnya dalam gerak dan diam dan dalam pikiran dan langkahnya, karena setiap nafas dalam umur merupakan mutiara indah yang tidak ada gantinya. Dengan mutiara itu ia dapat membeli satu pusaka dari pusaka-pusaka yang tidak terbatas dan kekal abadi. [-Mahajjah al-Baydha, karya al-Faydh al-Kasyanl, jil. 8, kitab al-Muraqabah wa al- Muhasabah, al-maqam al-awwal, hal. 151. ]" 

Dengan nafas yang naik ini, seseorang dapat mengatakan satu kata keburukan sehingga dihukum karenanya. Ia dapat mengatakan satu kata kebaikan sehingga diberi pahala karenanya, atau ia juga dapat diam sehingga tidak diberi pahala dan tidak pula disiksa, tetapi ia merugi karena "berlalunya napas-napas ini merupakan barang hilang atau dibe­lanjakannya pada sesuatu yang mendatangkan kebinasaan merupakan kerugian yang sangat besar, yang tidak dapat diterima oleh orang ber­akal. Apabila hamba memasuki waktu subuh dan telah selesai menu­naikan fardu subuh, maka hendaklah ia mengosongkan hatinya sesaat untuk melakukan musyarathah terhadap dirinya, sebagaimana pedagang ketika menyerahkan barang dagangan kepada mitra pekerjanya, Ia meluangkan waktu untuk menentukan syarat-syarat. Ia berkata kepada dirinya, "Aku tidak memiliki barang dagangan selain umur. Apabila ia hilang, maka modal pun hilang dan muncullah keputusasaan untuk berdagang dan mencari untung.[ Ibid ]" 

Ini seperti salju pada hari panas yang meleleh dan berubah menja­di air, serta habis dan, mau atau tidak mau, Anda dapat merugi setiap saat, kecuali bila Anda menjualnya dan mengambil pembayarannya. 

Demikian pula umur yang dapat saja berlalu pada setiap saat. Namun, kalau Anda memperdagangkannya dengan Allah SWT maka Anda tidak akan merugi, walaupun habis. Sebab, pahala Anda terpelihara di sisi Allah, dan pahala yang Anda peroleh melalui perbuatan-perbuatan salih sepanjang umur Anda akan Anda dapati menjadi berlipat ganda di sisi Tuhan yang paling mulia dari segala yang mulia. 

Setelah itu, seseorang harus berkata kepada dirinya, "Inilah hari baru yang pada saat ini Allah SWT menangguhkan ajalku dan menganu­gerahkannya kepadaku. Kalau Dia mewafatkanku, tentu aku berharap agar Dia mengembalikanku ke dunia walaupun satu hari hingga aku dapat mengerjakan perbuatan salih." Oleh karena itu, anggaplah bahwa engkau telah mati dan engkau dikembalikan lagi. Waspadalah, agar ja­ngan menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tidak ternilai. 

Ketahuilah, sehari semalam hanya dua puluh empat jam." Di dalam sebuah riwayat disebutkan: Setiap sehari semalam disebarkan dua puluh empat peti yang dijajarkan untuk hamba. Lalu, salah satu peti itu dibuka untuknya. Tiba-tiba, ia melihatnya dipenuhi cahaya dari kebajikan-kebaikannya yang ada pada saat itu sehingga ia mendapatkan kebahagiaan dan kabar gembira akan mendapatkan cahaya-cahaya terse­but yang merupakan wasilah di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa, yang kalau dibagikan kepada penghuni neraka, tentu mereka tercengang terhadap kebahagiaan tersebut pada saat merasakan pedih­nya siksaan neraka. 

Kemudian, sebuah peti lagi dibuka untuknya. Tiba-tiba, ia melihatnya hitam gelap. Baunya menyebar dan gelapnya menu­tupinya. Itulah saat ketika ia berbuat kemaksiatan kepada Allah sehingga ia mendapatkan ketakutan luar biasa, yang kalau dibagikan kepada penghuni surga, tentu hal itu menyusahkan mereka, padahal mereka berada dalam kenikmatan surga. Dibuka lagi sebuah peti kosong. Tidak ada sesuatu pun di dalamnya, baik yang membahagiakan maupun yang menakutkan. Itulah saat yang ketika itu ia tidur, lalai, dan disibukkan dengan perbuatan-perbuatan mubah di dunia sehingga menyesalinya karena telah melewatkannya begitu saja. Karena telah menyia-nyiakannya, ia memperoleh sesuatu seperti yang diperoleh seseorang yang mam­pu meraih keuntungan yang banyak dan kekuasaan yang besar, tetapi ia mengabaikan dan meremehkannya sehingga sesuatu itu berlalu. Dan karenanya ia ditimpa penyesalan. Demikianlah, ditampakkan kepada­nya peti-peti waktunya sepanjang umurnya.[ Ibid ] 

Oleh karena itu, pada catatan pinggir kilab Mafatih al-Jinan karya Syaikh al-Qumi r.a., Aiula mendapati bahwa Ahlul Bait as. telah menyebutkan amalan tertentu untuk setiap saat dalam dua puluh empat jam sehari. Itulah peti cahaya yang menjadi kenikmatan abadi bagi seseorang pada Hari Kiamat.

Posting Komentar untuk "Musyarathah Mencapai Keteguhan Hati ke Jalan Allah"