Pendidikan Akhlak Melalui Tujuan Keakhiratan

Metode mendidik akhlak ini didasarkan pada ajakan dan dorongan kepada seseorang untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan terpuji serta menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk dan tercela. Hal itu melalui balasan akhirat berupa pahala atau siksaan. 

Dalam hal ini, sebagaimana metode pertama, terdapat perdagangan, imbal-balik, dan imbalan.' tujuannya adalah bahwa imbalan itu kadang- kadang disegerakan dan berkailan dengan dunia, sebagaimana metode pertama. Kadang-kadang pula, imbalan itu ditangguhkan dan diberikan kepada manusia di akhirat, sebagaimana di dalam metode kedua. 

Tampaknya, kebanyakan orang tidak memperhatikan imbalan yang ditangguhkan karena mereka dicetak di atas kecintaan pada pembayaran yang disegerakan dan perhatian terhadapnya, bahkan kalaupun pembayaran itu sedikit atau tidak bernilai jika dibandingkan dengan imbalan yang ditangguhkan, sebagaimana dalam imbalan keduniaan dibandingkan dengan imbalan keakhiratan. Allah SWT berfirman: Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kalian mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan [kehidupan] akhirat. { QS al-Qiyamah [75]: 20-21}. 

 Balasan di akhirat memiliki dua karakteristik penting sebagai berikut. 

Pertama, hal itu memperbaiki lahiriah dan batiniah perbuatan, karena pemberi balasan adalah Allah SWT yang tidak ada sesuatu sebesar atom pun, baik di bumi maupun di langit, luput dari pengetahuan- Nya. Diriwayatkan dari Imam 'Ali a.s.,"... Karena saksinya adalah hakim ..{ Nahj al-Balaghagh, hal. 287, al-kalimat al-qshar: 316} ." Hakim pada Hari Kiamat adalah saksi di alam ini. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda, "Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Kalaupun kamu tidak melihat-Nya, Dia melihatmu. { Mishbah asy-Syari’ah, Mu’assasah al-A’lami, Beirut: 8 }" 

Seseorang harus beribadah kepada Allah SWT seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tidak mampu sampai pada maqam melihat Allah sebagai saksi dalam segala sesuatu apakah tidak cukup dengan Tuhanmu bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu? { QS Fushshilat [41]: 53} Artinya, tidakkah cukup dengan Tuhanmu bahwa Dia disaksikan pada segala sesuatu. Allah SWT disaksikan dalam segala sesuatu. Namun, karena kebutaan penglihatan kita, kita tidak melihat-Nya. Dalam menafsirkan ucapan pemimpin para arif, Imam al-Husayn a.s., dalam doa Arafah: "Mata membuta tidak melihat-Mu, padahal Engkau mengawasinya { Mafatih al-Jinan, Doa ‘Arafah}," para ulama kita berkata, "Ini bukanlah doa, melainkan sebuah berita, karena Imam a.s. berkata, 'Se-sungguhnya orang yang tidak melihat-Mu, maka dia buta.'" 

Ketika Dzi'lib al-Yamanl bertanya kepada Amirul Mukminin a.s., "Apakah engkau melihat Tuhanmu, wahai Amirul Mukminin?" Beliau menjawab, "Apakah aku menyembah sesuatu yang tidak aku lihat" Dzilib bertanya lagi, "Bagaimana Anda melihatnya?" Beliau menjawab, "Dia tidak tergapai mata dengan kesaksian visi berhadap-hadapan ('iyan), tetapi hati menggapainya dengan hakikat keimanan. { Nahj al-Balaghah, hal. 258, khutbah: 179}" Dia SWT disaksikan dengan pandangan batin dan dengan hati, bukan dengan mata materi. Rasulullah saw. bersabda, "Setiap hati memiliki dua mata dan dua telinga. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia membukakan kedua mata hatinya untuk menyaksikan malakut. { Tafsir al-Muhith al-A’zham wa al-Bahr al-Khadham, karya Sayid Haydar al-Amin, tahqiq, pengantar dan komentar: Muhsin al-Musawi at-Tabrizi, jil.1, hal.272.}" 

Diriwayatkan dari Imam as-Sajjad a.s., "Ketahuilah, hamba memiliki empat mata; dua mata untuk melihat perkara agama dan dunianya dan dua mata yang lain untuk melihat perkara akhiratnya. Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia membukakan dua mata yang terdapat dalam hatinya sehingga ia melihat kegaiban dalam perkara akhiratnya. { Al-Khishal: 90/240}" Itulah malakutyang diungkapkan dalam ayat: Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (malakut) di langit dan bumi, dan [Kami memperlihatkannya] agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin { QS al-An’am [6]: 75}. Ibrahim telah memperoleh keyakinan dari melihat malakut langit dan bumi. Apabila seseorang melihat malakut ini, maka ia sampai ke maqam keyakinan yang dibicarakan dalam beberapa riwayat. 

Namun, bagaimana seseorang melihat malakut langit dan bumi? 

Jawabannya: penglihatan ini tidak mungkin dilakukan kecuali melalui penyucian hati. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada { QS al-Hajj [22]: 46}. Dalam kaitan kebutaan terhadap hati terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hati memiliki penglihatan menurut keberadaan dan ketiadaan pembawaan. Berdasarkan hal ini, seseorang kadang-kadang melihat sesuatu yang ada dise- kelilingnya. Lalu ia berkata, "Inilah mataku yang padanya aku melihat segala sesuatu." Kemudian, dikatakan kepadanya, "Kamu tidak melihat sesuatu apa pun." Allah SWT berfirman: Mereka memiliki mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat { QS al-A’raf [7]: 179} Hal itu karena melihat tidak dapat dilakukan dengan mata lahiriah ini yang ada bahkan pada binatang. Akan tetapi, melihat hanya dapat dilakukan dengan mata hati. Oleh karena itu, mereka tidak dapat melihat dengan mata lahiriah itu. Demikianlah firman Allah SWT: Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya itu hati mereka tertutup { QS al-Muthaffifin [83]: 14}, Artinya, hati mereka berkarat seperti cermin yang bernoda sehingga mereka tidak dapat lagi melihat al-Haqq disebabkan apa yang selalu mereka usahakan. { QS al-Muthaffifin [83]: 14} Penjelasan lebih jauh dalam masalah ini akan dikemukakan pada pembahasan yang berkaitan dengan balasan atas perbuatan, insya Allah. 

Kedua, balasan itu adalah balasan yang kekal, karena ia adalah balasan di akhirat, dan akhirat tidak akan lenyap karena ia kekal dengan kehendak Allah SWT. 

Metode ini dalam perbaikan akhlak adalah metode yang ditempuh para nabi. Hal itu sering dikemukakan dalam Alquran dan dinukil kepada kita melalui kitab-kitab samawi. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 1, hal. 358} Alquran tidak melewatkan me-tode ini, melainkan memandangnya sebagai sebuah metode yang baik untuk memperbaiki jiwa dengan menanamkan rasa takut (tarhib) dan peringatan terhadap neraka serta menumbuhkan keinginan (targhib) terhadap surga.. Terdapat banyak ayat Alquran yang menunjukkan metode ini. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta dari orang-orang Mukmin dengan memberikan surga { QS at-Tawbah [9]: 111}. Huruf ba' dalam bi anna adalah untuk pembayaran (muqabalah). Oleh karena itu, diriwayatkan dari Imam 'Ali a.s., "Tidak ada harga untuk diri mereka kecuali surga. Oleh karena itu, janganlah kalian memperjual-belikan diri kalian kecuali dengannya. { QS az-Zumar [39]: 10}" Hal itu bukan dengan sejumlah dirham, kekuasaan, jabatan, atau hal-hal lainnya yang bersifat artifisial, yang untuknya kita berjuang setiap pagi dan petang. Allah SWT juga berfirman: 

Sesungguhnya hanya orang-orang bersabar yang pahala mereka dicukupkan tanpa batas.{ QS Ibrahim [14]: 22}. 

Sesungguhnya bari roang-orang zalim itu ada siksaan yang pedih. {Nahj al-Balaghah, hal. 556}

Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksaan yang berat; dan Allah Mahaperkasa lagi mempunyai ba-lasan { QS Ali ‘Imran [3]: 4}. 

Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menggandeng ayat-ayat itu dalam menegaskan metode ini. Riwayat-riwayat tersebut akan ditunjukkan di bawah ini. 

Metode ini digunakan oleh banyak orang dalam menempa dan memperbaiki akhlak mereka. Ath-Thabathaba’i, dalam tafsirnya, berkata, "Watak manusia berbeda-beda dalam memilih salah satu dari ketiga metode ini. Sebagian mereka mayoritas diliputi oleh ketakutan. Setiap kali mereka memikirkan ancaman Allah kepada orang-orang zalim dan yang melakukan perbuatan-perbuatan dosa, berupa berbagai jenis siksaan yang dijanjikan bagi mereka, rasa takut di dalam diri mereka semakin besar. Hampir setiap saat ia menggigil, dan hal itu mendorong mereka untuk selalu beribadah karena takut terhadap siksaan-Nya. Sebagian lain, diri mereka diliputi harapan. Setiap kali mereka memikirkan janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan melakukan perbuatanperbuatan baik, berupa kenikmatan, kemuliaan, dan akibat yang baik, harapan mereka menjadi semakin besar sehingga mereka meningkatkan ketakwaan dan terus-menerus melakukan amal-amal salih karena mengharapkan ampunan dan surga. { Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 11, hal. 158}" 

Dari sini, kami menemukan bahwa murid-murid para imam a.s. dituntut untuk menumbuhkan keinginan terhadap surga dan merindukannya, atau menanamkan ketakutan terhadap neraka. Dinukil dari Abu Bashir, bahwa ia berkata: Aku berkata kepada Abu Abdullah ash- Shadiq a.s., "Aku menjadi tebusanmu. Wahai putra Rasulullah, tumbuhkanlah kerinduanku pada surga." Imam a.s. menjawab, "Wahai Abu Muhammad, kenikmatan surga yang paling ringan adalah wanginya yang tercium darijarak perjalanan seribu tahun di dunia. Kedudukan penghuni surga yang paling rendah adalah kalau seluruh jin dan manusia mendatanginya, makanan dan minumannya cukup untuk mereka semua dan tidak berkurang sedikit pun. { Tafsir al-Qumi, Nasyr Maktabah al-Huda, Qum, 2:82} Surga memiliki tingkatan- lingkatan sejumlah ayat-ayat Alquran, berdasarkan beberapa riwayat. Oleh karena itu, dikatakan kepada hamba pada Hari Kiamat, "Bacalah dan naiklah. { Al-Amali, karya ash-Shaduq, 440:586}" Sebagian orang tidak mengartikan bahwa yang dimaksud adalah menghapal ayat-ayat itu. Kadang-kadang sebagian nashibi mengungguli banyak pengikut Ahlul Bait a.s. dengan banyaknya hapalan mereka. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah pengetahuan terhadap ayat-ayat itu telah menjadi amalan, sebagaimana hal itu kami tujukkan secara garis besar ketika kami berbicara tentang tauhid praktis. Penjelasan lebih jauh tentang maalah ini akan dikemukakan pada pem- bahaan berikutnya, insya Allah. 

Dalam menjelaskan sifat-sifat surga, Imam a.s. menambahkan, "... kedudukan penghuni surga yang paling rendah adalah orang yang memasuki surga, lalu diangkat untuknya tiga kebun. Apabila ia memasuki kebun yang paling rendah, ia melihat di sana ada istri, pelayan, sungai- sungai, dan buah-buahan yang menyebabkan matanya dipenuhi dengan kesejukan dan hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Apabila ia bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, dikatakan kepadanya, Angkatlah kepalamu ke kebun kedua. { Tafsir al-Qumi, Nasyr Maktabah al-Huda, Qum, 2:82}'" Jadi, syukur menjadi penyebab bertambahnya karunia Ilahi bahkan di akhirat. Kalau kalian benar-benar bersyukur, pasti Aku memberikan tambahan untuk kalian { QS Ibrahim [14]: 7}. Hal itu merupakan penyebab naiknya seseorang ke tingkatan-tingkatan surga. 

Kemudian, Imam a.s. melanjutkan, "... Lalu ia berkata, 'Wahai Tuhanku, berikan hal ini kepadaku.' Allah SWT berfirman: 'Jika Aku memberikannya kepadamu, Engkau meminta kepada-Ku yang lainnya.' Orang itu berkata, 'Wahai Tuhanku, ini, ini..{ Tafsir al-Qumi, Nasyr Maktabah al-Huda, Qum, 2:82} ," Sebab, ambisi manusia tidak ada batasnya. Hal itu karena kecintaannya terhadap kesempurnaan mutlak. Oleh karena itu, setiap kali ia diberi sesuatu maka ia menginginkan tambahannya. 

Selanjutnya, Imam a.s. berkata, "... Apabila ia memasukinya, ia pun bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya. Apabila ia bersyukur kepada Allah dan memuji-Nya, dikatakan, 'Bukakanlah pintu surga untuknya.' Lalu dikatakan kepadanya, Angkatlah kepalamu ke kebun ketiga.' Ketika pintu surga itu dibukakan untuknya dan ia melihat isinya berlipat ganda dari kebun sebelumnya, karena kebahagiaannya berlipat ganda ia berkata, 'Wahai Tuhanku, untuk-Mu segala pujian yang tidak terhingga,karena Engkau telah menganugerahkan surga-surga ini kepadamu dan menyelamatkanku dari neraka.'" 

Abu Bashur berkata: Oleh karena itu, aku menangis. Kemudian, aku katakan, "Aku menjadi tebusanmu, tambahlah." Imam a.s. berkata, "Wahai Abu Muhammad, di dalam surga terdapat sebuah sungai yang dikelilingi gadis-gadis muda. Apabila orang Mukmin melewati satu gadis, maka mereka terkagum-kagum kepadanya. Apabila tercabut maka di tempatnya Allah menumbuhkan yang lain. { Ibid }" Karunia Allah itu tidak berkurang. Bahkan, banyaknya pemberian justru menambah kemurahan dan kedermawanan-Nya. Sebab, setiap sesuatu yang mendapati lapar, haus, permintaan, dan kebutuhan, di sana terdapat pemberian, kemurahan, dan kedermawanan. 

Akhirnya, penanya itu berkata, "Aku menjadi tebusanmu, Apakah ada pembicaraan yang diucapkan penghuni surga?" Imam a.s. menjawab, "Benar, ada. Pembicaraan yang mereka ucapkan tidak pernah di (lengar oleh makhluk mana pun." Apakah itu? Beliau menjawab, "Mereka berkata, 'Kita kekal, tidak akan mati. Kita mendapatkan kenikmatan, tidak pernah sengsara. Kita menetap, tidak akan diturunkan. Kita ridha, tidak akan marah. Berbahagialah Tuhan yang mencipta untuk kita dan berbahagialah Tuhan yang menciptakan kita untuk-Nya. Kitalah y;mg kalau jambul rambut kita digantungkan di angkasa bumi, tentu cahayanya menyilaukan pandangan. { Ibid, 2: 2-83}" 

Dalam riwayat tentang malam mi'raj, Rasulullah saw. bersabda, "Ketika aku diisrakan ke langit, aku memasuki surga. Aku melihat lembah- lembah di sana. Aku melihat di sana terdapat para malaikat yang sedangmembuat batu bata dari emas dan perak. Akan tetapi, kadang- kadang mereka berhenti. Aku bertanya kepada mereka, "Apa gerangan y,mg membuat kalian berhenti?" Mereka menjawab, "Menunggu nafkahdatang kepada kami." Aku bertanya lagi, "Apa nafkah kalian?" Mereka menjawab, "Ucapan orang Mukmin: Subhanallah wal hamdu lillah wa la illaha illallah wallahu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan selain Allah, dan Allah Mahabesar). Apabila ia mengucapkannya, maka kami pun mulai lagi membangun. Akan tetapi,jika ia diam, maka kami pun berhenti. { Al-Bihar, jil. 18, hal. 292}" 

 Ketika para sahabat Nabi saw. diberi kabar ini dan mengira bahwa istana mereka di surga itu banyak, Rasulullah saw. berkata kepada mereka, "Berhati-hatilah kalian, agar jangan mengirim api ke sana sehingga kalian membakarnya." 

Kemudian, pada bagian akhir riwayat itu, beliau bersabda, "Dua ayat ini adalah firman-Nya: Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan- ucapan yang baik, yaitu tauhid dan keikhlasan; dan firman-Nya: dan mereka diberi petunjuk ke jalan yang terpuji, yaitu wilayah. }adi, tujuan itu adalah tauhid, sedangkan jalan terpuji itu adalah wilayah." Oleh karena itu, diriwayatkan dari Amirul Mukminin a.s., "Akulah ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) itu." Beliau adalah ash-shirath al-mustaqim yang berbicara.