Hubungan Ikhtiar/Usaha dengan Qadha dan Qadar Allah

Usaha manusia dalam hal ini hanyalah ibarat satu lingkaran dari lingkaran-lingkaran terbesar (sistem Allah). Sesungguhnya iradat (kehendak) Allah adalah konsekwensi dari pencapaian yang diusahakan manusia, seputar diri dan perasaan (karena fitrah atau pemikiran) yang saling terkait dengan dorongan negatif atau positif. Kenyataan keberadaan alam semesta (sebagai contoh) dari kekuasaan yang mempengaruhi atas pemikiran versi iradat dan tidak dapat diingkari kecuali oleh seorang yang picik. 

Dan bahwasanya permulaan sebab akibat inilah yang mempengaruhi atas perasaan (panca indera), pencapaian, iradat yang sungguh dipengaruhi oleh tangan Yang Maha Pengurus alam semesta, Yang Maha Agung menciptakan segala sesuatu, segala pribadi, yang menciptakan sebab atas: kesesuaian hikmat kebijaksanaan-Nya. Dialah yang menjadikan segala yang terjadi mengikuti sebabnya masing-masing. 

Sekali-kali manusia tidak akan dapat keluar dari diri dan kemauan sunnatullah alam ini, yang telah diatur oleh Allah SWT. bagi para mahluk Nya. Karena itu, manusia hanyalah suatu kesatuan dari apa yang maujud dan di balik kemauannya terbersit suatu kemauan atas diri yang mutlak (bebas), yaitu iradat Allah SWT. 

Maka, penyerahan akal kita yang terbatas ini, terhadap apa yang diperbuat oleh aklul Ilahi yang mutlak telah menciptakan kebaikan dai kejahatan demi untuk menguji manusia. Baru kemudian ditegakkannya suatu sistem agar (untuk) diterapkan sebagai kewajiban suci. 

Seorang yang beriman akan qadha dan takdir Allah, seperti meyakini bahwa "Ajal" memang telah ditentukan dan rizki adalah jaminan dari Allah SWT., maka manusia tidak akan dirintangi oleh takdir untuk menghadapi berbagai kesulitan. Dengan penuh keyakinan mereka menyadari bahwa takdir ada di tangan Allah SWT. dan pasti akan terjadi melainkan bila Allah berkehendak mengubahnya dengan qadha yang telah ditetapkan dalam "Ummul Kitab " (Lauhul Mahfuzh). Sebagaimana firman-Nya : 

"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Pada sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (lauhul Mahfuzh)." (Ar-Ra'd 39) 

Oleh karena itu, manusia tidak boleh merasa takut kepada Al maut serta gelisah dengan kefakiran. Tiada keraguan yang harus dipertahankan selama segala urusan dan persoalan berada di tangan Allah SWT. Karena apa yang dikehendaki Allah, niscaya terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya takkan terjadi. Apa yang semestinya menimpa diri manusia takkan terlepas daripada-Nya dan apa yang sudah tercatat dengan penetapan tidak akan menimpa dirinya, maka sekali-kali takkan sampai kepada. Pada saat itu, ia akan tergolong bersama orang-orang yang mengucapkan (menegakkan) kalimat Allah, sedang mereka menghadapi bahaya peperangan yang dahsyat dan dari berbagai kekerasan yang menggelisahkan hati. 

Allah SWT. Berfirman : 

"Katakanlah, sekali-kali takkan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal." (AtTaubah51) 

Akan tetapi, manusia yang membiarkan hati sanubarinya menderita kesusahan, sedang ia saling menanyakan (keheranan) pada apa yang dimiliki kaum Muslimin dari akhlak (perangai) mereka yang telah mengambil dari akidah qadha dan takdir sebagai hujah (alasan). Sedang pada diri mereka terdapat kecenderungan negatif dan memperbolehkan apa yang telah diharamkan serta berbagai kejahatan yang telah merampas kebahagiaan, kemerdekaan berfikir, kehidupan yang teguh, maka hal itu telah menjerumuskan mereka kededam jurang-jurang yang curam dan gelap gulita. Mereka sendiri yang telah mengambil qadha dan takdir, sebagaimana yang dianut oleh faham Jabbariah dengan mengatakan: bahwa manusia itu majbur (terpaksa) secara mutlak dalam semua perbuatannya. Hingga tidak ada baginya ikhtiar (pilihan) seperti sayap burung yang bergantung di udara, dibawa oleh hembusan angin kemana saja ia mengarah dan ia pun seperti ini adanya. Sedang Islam tidak menghendaki yang demikian ini terjadi pada manusia. 

Apabila faham " Jabbariah " telah memasuki jiwa suatu kaum, maka akan sirna dari diri mereka kemauan serta usahanya dan akan terhapus bagian-bagian yang bersifat ikhtiari dalam jiwa-jiwa mereka. Kemudian setan akan menghiasi agar menggantungkan diri atas-Nya sebagai senjata yang ampuh untuk memerangi keyakinan mereka. Lalu mereka berserah diri dengan apa yang telah ditentukan dari berbagai nafsu serta kejahatan. Akan sesatlah mereka dalam kebanggaan dan tepukan dada. Dengan demikian, akan sia-sialah mata hati serta kekuatan akal mereka. Sedang mereka pada saat itu telah kehilangan limpahan anugerah Allah dari berbagai pencapaian yang bersifat pemikiran dan apa saja yang dikaruniakan oleh-Nya. Baik berupa kemerdekaan, kebebasan, yang kemudian tidak lagi berhasrat untuk melakukan usaha. Artinya, telah nisak tata tertib yang seimbang hingga menutup pintu hati mereka dari iradat Allah Swt. Allah sekali-kali tidak akan membebani manusia dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya. Allah tidak menciptakan akal budi secara senda-gurau ataupun main-main. Dan sesungguhnya Akal budi serta usaha manusia merupakan sarana yang diberikan oleh Allah untuk memikul beban tanggung jawabnya sebagai khalifah-Nya dimuka bumi. Di samping itu, segala urusan akan ditentukan (berpulang) kepada Allah SWT. Dan mereka (Jabbariah) mengabaikan pahala da' siksa bagi amal perbuatan yang bersifat usaha (kasab). Allah akan menuntut terhadap apa yang dianugerah¬kan kepada mereka dari bagian yang bersifat ikhtiari dan mereka akar dimintai pertanggungan jawab atas perintah amal makruf dan nahi munkar Sesungguhnya usaha merupakan beban yang dipikulkan oleh syariat atas diri manusia yang dengannya akan menjadi sempurnalah hikmat kebijaksanaan Ilahiat. 

Kebalikan (lawan) dari golongan ini (Jabbariah) telah mengatakan bahwa manusia memiliki sifat qadir (kesanggupan) melakukan segala amal perbuatannya. Golongan ini bernama "Qadariah". 

Namun, seorang Mukmin sejati adalah mereka yang selalu berpegang pada Al Qur'an dan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. serta tidak mengikuti apa yang didoktrinkan oleh ajaran Jabbariah maupun Qadariah Sesungguhnya apa yang telah di syariatkan Islam berupa mengikuti apa yang diperintah dan menjauhi larangan Allah akan lebih terasa nikmat (indah). Inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. 

Allah Maha Adil, Maha Rahim (Maha Kasih) dan kasih sayang Allah melebihi keadilan-Nya. Sekali-kali tiadalah rahmat Allah itu jauh (gaib) dibandingkan dengan siksa-Nya yang sangat pedih. Akan tetapi, ibarat neraka Jahanam, rahmat Allah pun bertingkat-tingkat.Tingkat yang paling bawah lebih keras (jauh dari rahmat) dibanding dengan tingkat yang paling atas (lebih mendekati rahmat atau kasih sayang-Nya). Sampai di dalam neraka, keadilan dan rahmat Allah masih berlaku (sebagaimana yang ada di dalam Surga). Sungguh Allah telah mengatur derajat serta tingkatan dalam pemberian pahala dan pembalasan siksa. 

Allah adalah Dzat yang Maha Kuat. Ia mencintai dan lebih menyukai kepada manusia yang mempunyai dan mengamalkan sikap tersebut didalam menegakkan "Din-Nya ". 

Sebaliknya, seorang mukmin yang lemah harus bangkit, karena mereka lebih tidak disukai oleh Allah SWT. Dan sebagai rahmat Allah atasnya (seorang mukmin yang lemah) dapat menerima bantuan bila berkemauan keras berupa iradat Allah yang Maha Tinggi serta dapat pula menerima uluran tangan-Nya demi untuk kekuatan dirinya. Hendaklah kalian mengangkat kepala ke atas, wahai manusia Mukmin, agar kalian tahu akan iman yang lurus (terhadap alam gaib dan alam syahadah), hingga mampu berfungsi sebagaimana udara yang selalu bermanfaat bagi seluruh kehidupan. 

Allah sangat murka kepada manusia yang memiliki sifat negatif (lemah). Karena, ahli nifaq (munafik) dan ahli riya (orang yang beramal karena mencari pujian orang) adalah orang-orang yang memiliki sifat tersebut. Mereka mengelabui hamba-hamba Allah yang positif (kuat) demi menipu umat manusia dan diri mereka sendiri. 

Allah SWT. berfirman : 

"Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak menyadarinya." (Al Baqarah 9)