Jaminan Memelihara Anak Yatim

Dari Sahal bin Sa'd Assa'idi ra. mengatakan: Bersabda Rasulullah saw:

 أَتَاوَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هكَذَا 

"Saya, dan pemelihara anak yatim, akan berada di surga seperti ini." Lantas Nabi saw mendemonstrasikannya dengan telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkannya sedikit." (HR. Bukhari, Abu Daud, dan Turmudzi) Wahai pemuda pemudi tercinta... Allah Ta'ala telah berfirman: 

"Bukankah Allah mendapatkan engkau dalam keadaan yatim, lantas ia lindungi?" (QS. Adh-Dhuha: 6) 

"Dan adapun anak yatim, janganlah engkau aniaya." (QS. Adhdhuha: 9) 

Kedua ayat ini, obyek pembicaraannya ditujukan untuk Rasulullah saw yang dilahirkan dalam keadaan yatim, lantas Allah menganugerahinya dengan pengawasan, jaminan, dan sebaik-baik asuhan. 

Keyatiman, adalah salah satu bentuk keterputusan kehidupan dan tekanan mental (psikis). Di mana seorang anak kehilangan sang penjamin yang mencukupi keperluannya. Sebagaimana hati kehilangan sang penyayang atau penaruh belas kasih, sehingga tumbuhlah anak dalam keterlantaran. 

Adapun yang saya maksud keterputusan hidup ialah: Keterputusan yang terjadi di antara sang ayah selaku penyebab kehidupan dan sang'anak selaku buahnya. Tentunya hal ini di masa kanak-kanak, saat seseorang belum mampu mengoperasionalkan tugas dan kebutuhan-kebutuhan hidup. Adapun sesudahnya, masa pemuda dan dewasa, predikat keyatiman sudah tak berlaku. 

Yang saya maksud tekanan mental adalah kepedihan yang dirasakan anak baik di dalam maupun di luar rumah, serta kesusahan yang mengiris-iris hatinya di saat berinteraksi sosial dengan sesama, baik dengan kawan sebaya atau orang lain yang berbeda umur. Tak ia dapatkan punggung tempat bersandar, juga hati tempat berbagi rasa. 

Karenanya Rasul kita saw, dalam hadis dan "Surat wasiat"nya yang amat berharga, dengan sensitivitas manusiawinya yang amat agung, menasihati kita perihal: Proyek pengasuhan anak yatim. 

Dan kalian tentu tahu, bahwasanya panutan kita Rasulullah saw, dalam setiap perkara yang kita lakukan atau kita tinggalkan, apabila beliau menggunakan kata "Ana" (saya), berarti menunjukkan keagungan substansial ucapannya. Dan saat beliau mengatakan: Penjamin Anak Yatim, engkau tentu tahu nilai korelasi ini. Juga nilai kedudukan tinggi yang disandang penjamin tersebut. 

Di manakah itu? Di surga! Adakah pencarian dan tujuan yang lebih tinggi dan agung daripadanya? Adakah derajat lain yang lebih mulia?

 وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَا فَسِ الْمُتَنَا فِسُوْنَ٠ 

"Untuk mengejar surga, hendaklah manusia saling berkompetisi!" 

Adapun ucapan beliau: Hakadza (seperti ini), lantas beliau sedikit merenggangkan antara dua jarinya, telunjuk dan jari tengah, adalah sekedar dalalah (penunjukan) verbal, untuk membedakan derajat kenabian dan lainnya. Adapun wasiat Nabi ini, wahai pemuda pemudi ... menekankan pengasuhan anak yatim pada dua sisi: 

Pertama: Masa asuhan. Saat mereka masih dalam masa kanak-kanak. Dan inilah yang terpenting. Sebab jika mereka terbina semenjak kecil, kepribadian mereka berangsur-angsur sempurna saat dewasa. 

Karenanya, hendaklah pergaulanmu terhadap anak yatim, baik laki-laki maupun perempuan, didasarkan atas kasih sayang. Tanpa engkau merasa berat, atau terpaksa. Tapi, bersikaplah secara wajar. 

Banyak kesempatan untuk mengunjungi mereka. Dan alangkah baik sambil membawa hadiah, sebagai media kebaikan yang amat mulia, dan memikat hatinya. 

Kedua: Masa pengentasan. Artinya saat mereka sudah berdikari. Entah dari sisi umur atau kemampuan mencari nafkah. Dan ini, tentunya tergantung keberhasilan tarbiyah (pengasuhannya). Maka marilah curahkan perhatian, pikiran, dan hati, untuk merealisasikan wasiat Nabi agung. Sehingga kita termasuk golongan salihin di dunia, dan faalihiin (orang-orang beruntung) di akhirat.