Ihwal Orang Arif dalam Persoalan Tadbir

 أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ ، فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لاَ تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ ٠ 

“Tenangkan dirimu dari memikirkan urusan duniawi, karena apa yang telah direncanakan Allah Swt bagimu, tidak perlu kamu sibuk memikirkannya." 

Tadbir itu adalah rencana masa depan seorang hamba sesuai dengan kemauan dan kesanggupannya. Hal ini bukannya tidak diperkenankan kepada manusia, akan tetapi manusia perlu memahami bahwasanya sebagai sesuatu yang berlaku dalam hidup dunia ini, telah diatur oleh Allah Swt atas diri seseorang, maka tidak lagi perlu ia ikut mengaturnya. Seperti diungkapkan oleh Sayid Abu Hasan Asy Syadzili, "Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik aturlah agar kalian tidak mengatur." Allah Swt memberi kesempatan kepada manusia agar mempergunakan insting dan inderanya untuk merencanakan segala keperluan hidup dunianya, dan memberi kesempatan pula supaya mampu mempertahankan nikmat dan anugerah Allah yang telah iliterima oleh manusia, karena itulah fitrah Allah yang berlaku atas diri manusia. Akan tetapi Allah juga mengingatkan kepada manusia, bahwa emua rencana Allah jualah yang akan berlaku, dan apa yang diatur oleh Allah atas manusia itulah yang pasti. 

Allah Swt berfirman: "Seandainya kalian semua bertawakal kepada Allah, dengan berserah diri sepenuhnya, maka tentu kalian akan memperoleh rezeki seperti juga burung – burung mendapat rezekinya di pagi hari ketika mereka sedang lapar, dan kembali pulang ke sarangnya dengan perut kenyang.” (HR. Tirmidzi) 

Orang yang arif ketika menghadapi tadbir, adalah dengan cara tetap istiqamah beriman kepada ketentuan Allah Swt yang datang kepada kita, suka atau tidak, senang atau tidak. Menerima semua yang datang dari Allah sebagai anugerah yang tidak perlu disesalkan. Bahkan diikuti pula dengan ikhtiar baru guna mendapat ketentuan Allah yang baru pula. Menghidupkan rasa syukur dalam diri seorang hamba akan apa yang telah diterima sebagai nikmat dari Allah Swt. Rasa syukur itu diikuti pula dengan rasa sabar menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. 

Menerima semua yang ditetapkan Allah Swt dengan rasa sabar akan melahirkan rasa tawakal, dengan rasa tawakal itulah seorang yang arif bijaksana akan mengukuhkan imannya. 

Allah Swt berfirman: "Hanya orang yang sabar sajalah yang akan ditetapkan pahala mereka tanpa batas." (Az Zumar: 10) 

Dan sifat hamba seperti ini ditegaskan pula dalam surat Al-Ankabut ayat 56, bahwasanya iman seorang hamba yang tangguh adalah mereka yang sabar dan tawakal. 

Ukuran orang arifin dalam menghadapi ketetapan Allah Swt ialah ia dapat merasakan semua pemberian Allah itu sebagai suatu ujian atas kemampuan imannya. Ia terima semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran untung atau rugi, tetapi dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Ia tidak ingin keteguhan iman seorang hamba diukur dengan sesuatu yang lain, karena iman termasuk senjata pamungkas yang harus dijaga dan dipelihara agar tidak rusak, tidak berkarat, sehingga pada saat tertentu dapat dipergunakan menjadi perisai menghadapi semua kemungkinan yang datang dalam kehidupan anak manusia ini. 

Kemenangan akhir manusia yang arif ialah mampu mempertahankan imannya di saat yang penting. Dengan kemenangan itu akan memberinya kemajuan dan ketinggian rohani yang luar biasa. Tidak ada kemenangan yang sangat disenangi oleh orang-orang arif, kecuali kemenangan iman. Dengan iman yang selalu menang itulah seorang liarnba akan diantarkan ke surga jannatun na'im. 

Semestinyalah orang beriman itu memahami benar bahwa rencana Allah atas kehidupan manusia bukanlah suatu rencana yang main- main. Karena segala yang diciptakan Allah dalam bentuk apa saja adalah rahasia Allah yang akan ditunjukkan kepada manusia, setelah berlakunya suatu rencana terhadap manusia. 

Angan-angan manusia yang ada dalam benaknya tidak dilarang oleh Allah. Ikhtiar manusia untuk berhasilnya suatu kehendak pun boleh saja dilaksanakan. Akan tetapi ia harus yakin dengan keimanan yang teguh, bahwasanya semua yang direncanakan Allah, tak seorang pun yang mampu menghalanginya. Apabila Allah telah memberi karunia kepada manusia, maka karunia itu akan datang, walaupun ada yang menghalanginya. Demikian juga apabila Allah akan memberi sesuatu peringatan atau kesusahan kepada manusia karena perbuatannya, maka tak satu kekuasaan pun yang mampu menolak kehendak Allah itu.