Cara Melakukan Shalat Jamak dan Qashar dalam Perjalanan

Pada artikel di bawah ini akan disampaikan tentang shalat Jamak dan Qashar yang meliputi pnegertian, syarat-syarat shalat jamak dan qashar dan cara melakukannya. 

Shalat Jamak

Belum lama ini, anda telah mengerti maksudnya. Menurut riwayat al-Bukhari (1056), dari Ibnu ‘Abbas RA, dia berkata:

 كَانَ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ اِذَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ سَيْرٍ، وَيَجْمَعُ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ

Rasulullah SAW menggabung antara shalat Zhuhur dan ‘Ashar apabila ada dalam perjalanan, dan menggabung antara Maghrib dan ‘Isya’. 

Sedang Muslim (705) meriwayatkan pula dari Ibnu ‘Abbas RA:

 اَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلاَةِ فِى سَفْرَةٍ سَفَرْنَاهَا فِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ، فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، قَالَ سَعِيْدُبْنُجَبيرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاحَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ، قَالَ اَرَادَ اَنْ لاَيُحْرِجَ اُمَّتَهُ 

Bahwasanya Nabi SAW menggabung shalat dalam suatu perjalanan yang kami lakukan ketika perang Tabuk. Beliau menggabung antara Zhuhur dan ‘Ashar, dan antara Maghrib dan ‘Isya’. 

Sa’id bin Jabir, Rahimahullahu Ta’ala berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Apa sebab Nabi melakukan seperti itu? Jawab Ibnu ‘Abbas: “Beliau ingin tidak menyulitkan umatnya.” 

MACAM-MACAM JAMAK 

Menjamak shalat ada dua cara: Jamak Taqdim, dengan menempatkan shalat yang kedua pada waktu shalat yang pertama. Dan jamak Ta’khir, yaitu dengan menempatkan shalat yang pertama pada waktu shalat yang kedua. 

Abu Daud (1208), at-Tirmidzi (553) dan lainnya telah meriwayatkan dari Mu’adz RA:

 اَنَّ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِى غَزْوَةِ تَبُوْكَ، اِذَاارْتَحَلَ قَبْل اَنْ تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ اَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا اِلَى الْعَصْرِ يُصَلِّيْهِمَ جَمِيْعًا، وَاِذَاارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيْعًا، ثُمَّ سَارَ، وَكَانَ اِذَاارْتَحَلَ قَبْل الْمَغْرِبِ اَخَّرَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ، اِذَاارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءِ، فَصَلاَهَا مَعَ الْمَغْرِبِ 

Bahwasanya Nabi SAW berada dalam Perang Tabuk. Apabila beliau bertolak sebelum matahari meninggi, maka beliau akhirkan Zhuhur, sehingga beliau menggabungkannya dengan ‘Ashar, beliau melakukan keduanya bersamaan. Dan apabila bertolak sesudah tergelincirnya matahari, maka beliau melakukan shalat Zhuhur dan ‘Ashar sekaligus, berulah sesudah itu meneruskan perjalanan. 

Dan apabila bertolak sebelum Maghrib, maka Maghrib itu beliau akhirkan sehingga melakukannya bersama ‘Isya’. Dan apabila bertolak sesudah Maghrib, maka beliau menyegerakan shalat ‘Isya, yakni melakukannya bersama dengan Maghrib. 

SHALAT-SHALAT YANG BOLEH DIJAMAK 

Dari Keterangan di atas dapatlah diketahui, bahwa shalat-shalat yang boleh dijamak ialah: Zhuhur dengan ‘Ashar, dan Maghrib dengan ‘Isya. Jadi, tidaklah sah menjamak Shubuh dengan shalat sebelum atau sesudahnya. Begitu pupa, tidak boleh menjamak antara ‘Ashar dan Maghrib. 

Lain dari itu, baik jamak Taqdim maupun Ta’khir mempunyai syarat-syarat sendiri-sendiri, yang harus diperhatikan. Baiklah kami sebutkan masing-masing: 

SYARAT-SYARAT JAMAK TAQDIM 

Pertama, tertib antara dua shalat. Yakni, mulailah dengan shalat yang pertama, yaitu shalat pemilik waktu. Barulah disusul dengan shalat berikutnya. 

Kedua, berniat menggabung shalat kedua dengan shalat pertama selagi belum selesai dari shalat pertama. Hanya saja, disunnatkan niat itu dilakukan pada saat Takbiratul Ihram untuk shalat pertama. 

Ketiga, berturut-turut antara kedua shalat itu. Yakni segera melakukan shalat kedua begitu selesai, -yakni salam- dari salam pertama, tanpa dipisahkan oleh sesuatu pun, baik itu dzikir, shalat sunnah ataupun lainnya. Dan kalau antara kedua shalat itu dipisahkan oleh sesuatu yang cukup lama menurut ‘uruf, atau shalat yang kedua ditangguhkan tanpa ada suatu kesibukan, maka batallah penggabungan shalat itu, dan wajib dikahirkan sampai waktu yang semestinya. Semua itu karena mengikuti jejak Nabi SAW. 

Al-Bukhari (1041) telah meriwayatkan dari Ibnu Umar RA, dia berkata:

 رَاَيْتَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَااَعْجَلَهُ السَّيْرُ يُؤَخِّرُالْمَغْرِبَ فَيُصَلِّيْهِمَا ثَلاَثًا، ثُمَّ يُسَلِّمُ، ثًُمَّ قَلَّمَا يَلأْبَثُ حَتَّى يُقِيْمُ الْعِشَاءَ، فَيُصَلِّيْهِمَا رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يُسَلِّمُ 

Aku melihat Nabi SAW, apabila harus segera melakukan perjalanan, beliau mengakhirkan shalat Maghrib. Shalat itu beliau lakukan tiga rakaat, kemudian salam. Tak lama kemudian beliau pun menegakkan shalat ‘Isya. Shalat itu beliau lakukan duia rakaat, terus salam. 

Keempat, hendaklah perjalanan itu masih berlangsung sampai dilaksankannnya shalat kedua. Dan kalaupun di tengah shalat itu, tahu-tahu sudah sampai ke negerinya sendiri, maka tidaklah mengapa. 

SYARAT-SYARAT JAMAK TA’KHIR. 

Pertama, berniat menjamakta’khirkan shalat yang pertama selagi masih dalam waktunya yang asli. Jadi, kalau waktu Zhuhur sudah habis umpamanya, padahal musafir itu belum berniat menjamakta’khirkannya dengan shalat ‘Ashar, maka dia berkewajiban melakukannya secara qadha’, dan dia berdosa atas penangguhannya itu. 

Kedua, perjalanan masih berlangsung sampai dengan habisnya kedua shalat itu semuanya. Artinya, kalau musafir itu tahu-tahu sudah sampai ke negerinya sebelum habis sama sekali dari keduanya, maka shalat yang dikahirkan itu menjadi qadha’. 

Dalam soal jamak Ta’khir ini tidak ada riwayat yang mengharuskan tertib antara kedua shalat. Akan tetapi, boleh dimulai dengan mana saja di antara keduanya ang dikehendaki. Lain dari itu, berturut-turut (muwalat) antara keduanya pun di sini sunnah, bukan syarat bagi sahnya jamak.

Pengertian Qashar

Qashar ialah melakukan shalat yang semestinya empat rakaat, seperti Zhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya, diringkas menjadi dua rakaat saja, tidak empat rakaat, sebagaimana yang akan anda lihat pada dalil-dalil berikut nanti. Dasar dari disyari’atkannya qashar ialah firman Allah Ta’ala; 

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu). (Q.S. an-Nisa’: 101).

Imam Muslim (686) dan lainnya meriwayatkan dari Abu Ya’la bin Umayyah, dia berkata:

 قُلْتُ لِعُمَرَبْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَقْصُرُو مِنَ الصَّلاَةِ اِنْ خِفْتُمْ اَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِيْنَ كَفَرُوا، فَقَدْ اَمِنَ النَّاسِ؟ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ، فَسَاَلْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، قَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صََدَقَتَهُ 

Pernah aku berkata kepada Umar ibnul Khaththab RA: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meringkas sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Namun, orang-orang kini telah aman? Maka Umar berkata: “Aku pun heran akan apa yang engkau herankan itu”. Oleh karena itu, aku menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. maka jawab beliau: “Itu sedekah yang Allah berikan kepada kamu sekalian. Maka terimalah sedekah-Nya.”

Ini menunjukkan, bahwa mengqashar shalat tidak hanya ketika dalam keadaan takut saja.

Dan untuk sahnya qashar, harus diperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kewajiban shalat mulai menjadi tanggungan selagi dalam perjalanan, dan pelaksanaannya pun selagi dalam perjalanan.

Dengan adanya syarat seperti ini, maka tidak termasuk yang boleh diqashar, shalat yang telah masuk waktunya sebelum perjalanan dimulai, kemudian dimulailah perjalanan sementara shalat itu belum dilakukan. Dalam hal ini qashar tidak boleh dilakukan, karena belum lagi menjadi musafir ketika shalat itu mulai wajib dilaksanakan dan menjadi tanggungan.

Dan tidak termasuk pula boleh diqashar, shalat yang telah masuk waktunya selagi dalam perjalanan, tetapi belum juga dilakukan sehingga sampai ke negeri sendiri. Dalam keadaan demikian, qashar pun tidak boleh dilaksanakan, karena ketika melaksanakannya sudah bukan lagi musafir, padahal qashar itu untuk musafir.

2. Sudah melampaui batas negeri yang ditinggalkan, atau melampaui wilayah keramaiannya, kalau tidak ada batasnya.

Karena orang yang masih berada dalam batas negerinya atau dalam wilayah keramaiannya, belum bisa disebut musafir. Atau lebih jelasnya, perjalanan baru bisa dianggap dimulai sejak saat melampaui batas negeri, sebagaimana ia akan berakhir dengan sampainya ke tempat itu ketika pulang. Jadi, musafir belum boleh mengqashar shalatnya, selain shalat-shalat yang menjadi tanggungannya dan wajib dia lakukan selama waktu tersebut.

Al-Bukhari (1039), dan Muslim (690) telah meriwayatkan dari Anas RA, dia berkata:


 صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ اَرْبَعًا، وَالْعَصْرَ بِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ 

Pernah aku melakukan shalat Zhuhur di Madinah empat rakaat, dan ‘Ashar di Dzulhulaifah dua rakaat.

Sedang Dzulhulaifah itu ada di luar wilayah Madinah.

3. Musaif tidak berniat tinggi di tempat perantauan selama empat hari, selain dua hari ketika datang dan pergi. Tapi kalau berniat seperti itu, maka negeri tempat perantauannya itu dihukumi sama dengan negeri tempat tingalnya sendiri. Jadi, dia tidak diperbolehkan lagi mengqashar shalat di sana. Dia hanya boleh mengqashar di tengah perjalanan saja.

Adapun kalau dia berniat tinggal di sana kurang dari empat hari, atau tidak mengerti berapa lama dia akan tinggal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tidak tahu kapan selesainya, maka dalam keadaan yang pertama dia boleh mengqashar sampai dia kembali ke batas wilayah negerinya sendiri. Sedang dalam keadaan kedua, dia boleh mengqashar selama 18 hari, selain dua hari ketika datang dan pergi dari negeri tempat merantau itu.

Abu Daud (1229) telah meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain RA, dia berkata:

 غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ، فَاَقَامَ بِمَكَّةََ ثَمَانِىَ عَشْرَةَ لَيْلَةً، لاَيُصَلِّى اِلاَّ رَكْعَتَيْنِ 

Aku telah berperang bersama Rasulullah SAW, dan aku menyaksikan terbukanya kota Mekah. Beliau SAW tinggal di Mekah selama 18 malam, tanpa melakukan shalat selain dua rakaat-dua rakaat.

Karena Nabi SAW tinggal selama itu di Mekah oada tahun erbukanya kota tersebut untuk memerangi kaum Hawazan, dengan mengqashar shalatnya, sedang beliau tidak tahu berapa lama harus tinggal di sana.

4. Tidak ma’mum kepada penduduk asli negeri itu. Dan kalau ma’mum kepadanya, maka wajib mengikuti dia shalat selengkapnya, tidak boleh qashar.

Adapun kalau sebaliknya, maka tidak mengapa musafir mengqashar shalatnya, yakni jika dia menjadi imam atas penduduk asli. Dalam hal ini dia boileh qashar, dan ketika salam pada akhir rakaat kedua, disunnatkan segera mengatakan kepada ma’mumnya, “Sempurnakanlah shalat kalian, karena aku ini musafir”.

Adapun dalilnya ialah sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad shahih, dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa dia pernah ditanya: “Kenapakah musafir shalat dua rakaat bila sendirian, tapi empat rakaat bila ma’mum kepada orang yang tinggal di negeri sendiri?” Jawab Ibnu ‘Abbas: “Itulah Sunnah”.

Sedang dalam hadits riwayat ‘Imran RA tersebut di atas, dinyatakan Nabi bersabda:

 يَااَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا اَرْبَعًا، فَاِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ 

Hai anak negeri, shalatlah empat rakaat. Karena kami adalah kaum perantau.