Tali dan Pembalut Luka dalam Wudlu

Tali (jabirah, jamaknya Jaba’ir), yang dimaksud ialah tali yang dikaitkan pada anggota tubuh yang patah, untuk merekatkannya. Sedang pembalut (‘ishabah, jamaknya ‘asha’id), yang dimaksud ialah pembalut yang direkatkan pada luka untuk memeliharanya dari kotoran, agar segera sembuh. 

Islam adalah agama yang mudah. Oleh karenanya, hal-hal seperti inipun sangat dia perhatikan, bahkan dia syari’atkan untuknya hukum-hukum yang akan menjamin terlaksananya ibadah dan terpeliharanya kesehatan manusia sekaligus. 

HUKUM-HUKUM YANG BERKENAAN DENGAN PEMBALUT 

Orang yang terluka atau patah, ada yang lukanya atau tempat patahnya perlu dibalut atau ditali, selain diobati, dan ada juga yang tidak. Bagi yang perlu dibalut atau ditali, maka wajib melakukan tiga hal sebagai berikut: 
  • Bagian yang sehat dari anggota yang terkena musibah, dibasuh seperti biasa. 
  • Tali atau pembalit wajib diusap seluruhnya. 
  • Karena bagian yang sakit itu tidak dibasuh ketika berwudhu’, maka basuhan itu wajib diganti dengan tayammum. 

Adapun kalau bagian yang patah atau terluka itu tidak memerlukan dibalut maupun ditali, maka bagian yang sehat wajib dibasuh seperti biasa, lalu bertayammum, menggantikan basuhan atas yang terluka, manakala yang terluka itu tidak bisa dibasuh. 

Tayammum itu wajib diulangi untuk tiap-tiap shalat fardhu, meskipun tidak berhadats. Namun demikian, tidak wajib membasuh anggota-anggota selebihnya yang tidak sakit, kecuali apabila berhadats. 

DALIL DISYARI’ATKANNYA MENGUSAP PEMBALUT. 

Adapun dalil yang menunjukkan tentang disyari’atkannya mengusap pembalut ini, ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (336), dari Jabir RA, dia berkata:

 خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ، فاَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ اَصْحَابَهُ: هَلْ تَجِدُوْنَ لِىْ رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ؟ رُخْصَةًً وَاَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ، فَاغْتَسَلَ وَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقاَلَ: قَتَلُوْهُ قَتَلَهُمُ اللهُ، اَلاَ سَأَلُوااِذَا لَمْ يَعْلَمُوا؟ فَاِنَّمَا شِفَاءُ الْعَىِّ السُّؤَالُ، اِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْهِ اَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَاَوْ يَعْصِبَ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ 

Pernah kami keluar dalam suatu perjalanan. Maka, salah seorang di antara kami ada yang terkena batu sampai luka kepalanya. Kemudian, orang itu bermimpi keluar mani. Maka, bertanyalah ia kepada kawan-kawannya: “Apakah kalian menemukan suatu keringanan bagiku untuk bertayammum?” Maka jawab mereka: “Kami tidak menemukan bagimu suatu keringanan, sedang kamu mampu menggunakan air.” Maka orang itupun mandi, lalu meninggal dunia. Tatkala kami datang kepada Nabi SAW, maka hal itu diberitahukan. Maka jawab beliau: “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Tidakkah mereka bertanya kalau memang mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat kebimbangan itu bertanya. Padahal, orang itu cukup bertayammum dan membalut lukanya dengan secarik kain, kemudian mengusapnya, dan membasuh (bagian) tubuh selebihnya. 

Al-‘Ayyu: kebimbangan dalam berbicara. Dan adapula yang mengatakan: lawan dari kejelasan (al-Bayan) 

LAMANYA MENGUSAP PEMBALUT 

Untuk mengusap pembalut atau tali, tidak ada ketentuan waktu, tetapi boleh mengusapnya selagi masih ada uzur. Sedang apabila uzur itu telah tiada lagi –luka telah sembuh dan bagian yang patah telah rekat- maka tidak boleh lagi mengusap pembalut, dan wajib membasuh tempatnya. Maksudnya, apabila orang itu masih dalam keadaan punya wudhu’, sedang dia tidak boleh lagi membasuh pembalut, maka bagian tubuh yang tadinya diusap itu wajib dikenai air, berikut anggota-anggota wudhu’ ssudahnya, apakah itu diusap atau dibasuh, sebagaimana mestinya. 

Hukum mengenai pembalut ini sama saja, baik ketika bersuci dari hadats kecilk maupun hadats besar. Hanya saja, untuk hadats besar, apabila sudah tidak boleh lagi mengusap pembalut, maka hanya tempat balutan itu saja yang wajib dibasuh, sedang bagian-bagian tubuh lainnya tidak. 

Bagi orang yang memasang pembalut berkewajiban mengqadha’ shalatnya, dalam keadaan-keadaan sebagai berikut: 1. Apabila dia memasang pembalut dalam keadaan tidak suci, sedang pembalut itu tidak mungkin dilepas lagi. 2. Apabila pembalut itu dipasang pada anggota-anggota tayammum: wajah atau kedua tangan. 3. Apabila pembalut itu menempel pada bagian yang sehat, melebihi ukuran sekedar penyanggar agar pembalut itu tidak lepas.