Pengaruh publik opini terhadap kelakuan seseorang

Tidak semua jiwa manusia siap dan sanggup melakukan usaha-usaha dan amal kebajikan dan tidak pula semua bejalan sesuai dengan norma-norma akhlak dan peradaban yang luhur. 

Agama Islam menggunakan segala jalan dan usaha untuk menanamkan sifat-sifat keadilan, kasih sayang, gotong royong, beramanat, murah hati, bersabar, bergana’ah dan lain-lain sifat yang menjadi ajaran Islam sebagaimana dianjurkan oleh Al-Qur’an dan disabdakan oleh Rasulullah saw. 

Islam mewajibkan tiap muslim menjalankan amar ma’ruf, nahi mungkar, memerangi kejahatan, memberantas kemugnkaran, meluruskan kepincangan-kepincangan dan keganjilan-keganjilan yang terdapat dalam masyarakat yang bertentangan dengan akhlak dan peradaban manusia yang luhur. 

Bersabda Rasulullah saw.:

 من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده فإن لم يستطع فبلسانه، وإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الايمان. 

“Barangsiapa di antara kalian melihat perbuatan mungkar, maka hendaklah ia merusaknya (barang mungkar itu) dengan tangannya. Jika ia tidak sanggup (melakukan hal itu dengan tangannya) maka hendaklah ia lakukan dengan lidahnya (dengan nasihat, da’wah, kampanye dan sebagainya) dan bila ia tidak pula sanggup melakukan hal itu dengan lidahnya, maka hendaklah ia lakukan (mengingkari dan mengutuk perbuatan itu) dengan hatinya. Dan itulah tingkat iman yang terlemah.” 

Bersabda Rasulullah saw.:

 مامن نبيّ بعثه الله فى أمّة إلاّ كان له من أمّته حواريّون وأصحاب يأخذون بسنّته ويقتدون بأمره، ثمّ إنّها تخلّف من بعدهم خلوف يقولون مالا يفعلون ويفعلون مالا يؤمرون جاهدهم بيده فهو مؤمن ومن جاهدهم بلسانه فهو مؤمن ومن جاهدهم بقلبه فهو مؤمن وليس وراء ذلك من الإيمان حبّة خردل. (رواه مسلم) 

“Tidak seorang nabi yang diutus oleh Allah kepada suatu umat, melainkan ia mempunyai sahabat (hawariyun) yang menjalankan sunnatnya dan mentaati perintah-perintahnya. Kemudian datang sesudah mereka (sahabat-sahabat itu) generasi pendatang yang mengucapkan apa yang mereka tidak lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Maka barangsiapa menentang mereka (generasi pendatang) itu dengan tangannya, ia adalah seorang mu’min. Dan barangsiapa menentang mereka itu dengan lidahnya, ia adalah seorang mu’min dan barangsiapa menentang mereka itu dengan hatinya, ia adalah seorang mu’min. Dan diluar tiga tingkat penentangan ini tidak ada iman walau sebesar benih sawi pun.” (Rw. Muslim). 

Dengan terlaksananya perintah “Am’r ma’ruf nahi mungkar” dalam suatu masyarakat, maka akan terbentuklah suatu aparat kontrol yang mengawasi tindak tanduk para warganya, sehingga dengan demikian terciptalah masyarakat yang bersih dari kemaksiatan dan kemungkaran, menjunjung tinggi adat-istiadat dan akhlak yang luhur. 

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah 71). 

Agama Islam yang mewajibkan umatnya untuk mengadakan saling pengawasan dan kontrol terhadap tingkah laku warga-warga masyarakatnya, dan walaupun pengawasan dan kontrol itu dianjurkan agar dilaksanakan dengan cara yang halus dan lemah lembut, dengan cara nsihat dan da’wah, namun agama Islam tidak menutup kemungkinan digunakannya kekerasan dan hukuman-hukuman fisik terhadap orang-orang yang mengabaikan perintah dan nasehat lesan dan tetap membangkang melakukan tindakan-tindakan pidana yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat serta dengan sengaja dan terang-terangan melanggar hukum dan perintah Allah dan Rasulnya. Karena itu Islam telah menetapkan ganjaran dan sanksi-sanksi bagi tiap pelanggar hukum dan tindak pidana, agar si pelanggar memperoleh ganjaran yang setimpal, sekalipun menjadi peringatan bagi warga-warga yang lain. 

“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” ( Asysyuura 40). Maka terhadap pidana pembunuhan, Allah menetapkan hukum “qishash”, artinya pembalasan yang sama. 

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. (Al-Baqarah 179). 

Dan terhadap perzinaan dan menuduh wanita yang baik-baik berzina, Islam menetapkan hukum dera: 

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (An-Nuur 2). 

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nuur 4-5). 

Dan terhadap pencuri dan perusuh serta pengacau keamanan, Allah menetapkan ganjarannya dalam firman-Nya: 

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Alma’idah 38). 

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ma’idah 33-34). 

Selain beberapa bentuk hukuman yang telah ditentukan bagi beberapa macam tindak pidana, Islam telah meletakkan dasar yang dapat digunakan oleh seorang hakim sebagai pedoman dalam menetapkan hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran dan tindak-tindak pidana yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an atau hadits Rasulullah saw. 

Pedoman itu ialah firman Allah swt.: 

“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (Asysyuura 40). 

Walaupun Islam telah menetapkan beberapa bentuk hukuman bagi beberapa macam tindak kejahatan dan pelanggaran, pintu pengampunan tetap terbuka lebar bagi sang hakim untuk menggunakannya sesuai dengan syarat-syarat pengetrapannya. Sebagai contoh patut dicatat di sini, bahwa qishash terhadap seorang pembunuh dapat tidak dilakukan bila si pembunuh mendapat maaf dari ahli waris si terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar yang diterima baik oleh kedua belah pihak. 

Pandangan Islam dengan membuka pintu pengampunan ialah bahwa adakalanya pengampunan itu lebih baik, lebih bermanfaat dan lebih berbekas pada jiwa si pesakitan daripada pelaksanaan hukuman fisik. Bahkan dengan pengampunan itu sang pesakitan akan sadar dan bertaubat dari dosanya untuk selanjutnya menjadi seorang yang saleh. 

“ Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah..”(Asysyura 40). 

Bersabda Rasulullah saw.:

 لأن يخطئ الحاكم فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة

“Sesungguhnya lebih baik seorang hakim salah dalam putusannya memberi pengampunan, daripada salah dalam putusannya menjatuhkan hukuman.”