Najis Mughallazhah, Mukhaffafah Dan Mutawassitah

Najis Mughallazhah (berat) ialah najisnya anjing dan babi. Adapun dalil yang menunjukkan najis anjing dan babi itu mughallazhah, ialah karena tidak cukup dicuci dengan air sekali saja, seperti halnya najis-najis yang lain, tetapi harus dicuci tujuh kali, salah satu di antaranya dicampur dengan tanah, sebagaimana ditegaskan pada hadits tentang “Minumnya Anjing” tersebut di atas. Sedang babi dikiaskan kepada anjing. Karena ia lebih jorok lagi kelakuannya. 

Najis mukhaffafah (ringan), ialah kencing bayi laki-laki yang belum memakan selain susu, sedang umurnya belum lagi sampai dua tahun. Adapun dalil yang menunjukkan najis ini mukhaffafah, adalah karena ia cukup diperciki air. Asal percikan itu merata pada seluruh yang terkena najis, maka cukuplah, sekalipun tidak mengalir. 

Al-Bukhari (2021) dan Muslim (287) dan lainnya telah meriwayatkan dari Ummu Qais binti Mihsab RA:

 اَنَّهَا اَتَتْ باِبْنٍ لَهَا صَغِيْرٍ لَمْ يَأكُلِ الطَّعَامَ اِلىَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ 

Bahwa wanita itu telah datang membawa seorang anaknya yang masih kecil, yang belum memakan makanan, kepada Rasulullah SAW. tiba-tiba anak itu kencing pada baju beliau. Maka beliau menyuruh ambilkan air, lalu beliau percikkan tanpa mencucinya. 

Fanadhahahu: maka dia memercikkannya, sehingga air itu meratai tempat najis itu dan membuatnya basah kusup, tetapi tidak mengalir. 

Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis selain anjing dan babi dan selain kencing bayi laki-laki yang belum makan selain susu. Yaitu seperti kencing manusia, tahi binatang dan darah. Najis-najis itu disebut mutawassitah, karena mereka tidak bisa suci dengan sekedar diperciki air, namun tidak wajib dicuci berkali-kali, manakala ujudnya telah hilang dengan satu kali basuhan saja. 

Al-Bukhari (214) telah meriwayatkan dari Anas RA, dia berkata:

 كاَنَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا تَبَرَّزَ لِحَاجَتِهِ اَتَيْتُهُ بِمَاءٍ فَيَغْسِلُ بِهِ 

Apabila Nabi SAW keluar ke tanah lapang untuk memnuhi hajatnya, maka aku bawakan air untuk beliau, lalau beliau gunakan air itu untuk bersuci. 

Tabarraza lihajatihi: keluar menuju al-baraz (tanah lapang), untuk memnuhi hajatnya, yaitu buang air kecil atau pun besar. 

Dan juga al-Bukhari (176) dan Muslim (303) telah meriwayatkan dari Ali RA, dia berkata:

 كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً، فاَسْتَحْيَيْتُ اَنْ اَسْاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاَمَرْتُ الْمِقْدَادَبْنَ اْلاَسْوَدِ فَسَاَلُهُ فَقاَلَ: فِيْهِ الْوُضُوْءُ، وَلِمُسْلِمٍ: يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ 

Aku adalah seorang lelaki yang banyak mengeluarkan mazhi. Aku malu bertanya kepada Rasulullah SAW. maka saya suruh al-Miqdad Ibnu ‘l-Aswad menanyakan kepada beliau, maka jawab beliau: “Madzi itu mewajibkan wudhu’. Sedang menurut Muslim: “Hendaklah ia mencuci kemaluannya, lalu berwudhu. 

Madzdza’: orang yang banyak mengeluarkan mazhi, yaitu cairan yang kuning bening, yang pada umumnya keluar ketika memuncaknya syahwat. 

Dan al-Bukhari (155) meriwayatkan pula dari ‘Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata:

 اَتىَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ، فَاَمَرَنِى اَنْ اَتِيَهُ بِثَلَثَةِ اَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثّاَلِثُ فَلَمْ اَجِدْهُ، فَاَخَذْتُ رَوْثَةً فاتَيْتُهُ بها، فَاَخَذَ الحَجَرَيْنِ والقى الرَّوْثَةً وَقاَلَ: هَذَا رِكْسٌ. 

Nabi SAW telah buang air besar, lalu menyuruh saya membawakan untuk beliau tiga butir batu. Tetapi saya hanya menemukan dua butir saja, dan saya mencari yang ketiga, namun tidak ada. Maka saya ambil tahi binatang, lalu saya bawa kepada beliau. Dua butir batu itu beliau ambil, sedang tahi binatang itu beliau buang, seraya bersabda: “Ini najis.” 

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa benda-benda tersebut di atas adalah najis. Dan benda-benda lain yang belum disebutkan, Anda kiaskan sendiri dengan benda-benda tersebut.