Sifat Riba (Rentenir) dalam Ajaran Islam

RIBA (RENTE). Islam meniupkan jiwa gotong royong dalam tubuh masyarakat, dan membangkitkan semangat kebaikan pada setiap individu. Oleh karena itu, kita dapat melihat sikap Islam yang menunjang segala betuk hubungan mu’amalat yang bertujuan merealisasikan prinsip ini. Dan Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat mengakibatkan putusnya ikatan hubungan keintiman antara anggota-anggota masyarakat atau sesuatu yang bisa menyebabkan permusuhan dan saling membenci. 

Di antara hal-hal yang termasuk dosa besar dan sangat dilarang oleh Islam ialah, menjalankan riba atau rente. Islam dengan tegas dan keras melarang perbuatan terkutuk ini, dan mengecam para pelakunya akan dijadikan penghuni neraka selama-lamanya. Lebih jauh lagi, Islam menyamakan derajat pelakunya sama dengan orang-orang kafir. 

Allah telah berfirman : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. 2 : 275 – 276). 

Rasulullah menjadikan para pelaku riba dan saksi-saksinya, serta mereka yang mencatat perjanjian itu, semuanya terlibat dalam dosa. Dan laknat Allah mencakup mereka semua, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Mas’ud.

 لعن رسول الله اكل الربا وموكله وساهديه وكاتبه (رواه الترمذى وابو داود

 “Rasulullah melaknati pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya dan pencatatnya (Hadits riwayat Turmudzi dan Abu Dawud)”. 

Dan Rasulullah dengan tegas menetapkan bahwa menjalankan riba akan mengakibatkan kerusakan baik di dunia maupun di akhirat nanti, dan menjadikan dosa pelaku riba setaraf dengan dosa membunuh orang. 

Untuk itu Rasulullah bersabda :

 اجتنبوا السبع الموبقات, قالوا يا رسول الله وما هن؟ قال : الشرك بالله, والسحر, وقتل النفس التى حرم الله الا بالحق, وأكل الربى, واكل مال اليتيم, والتولى يوم الزحف وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات (رواه البخارى و مسلم

“Jauhilah olehmu tujuh perkara yang merusak”. Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa saja tujuh perkara itu?” Rasulullah SAW, menjawab : “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan tidak ada alasan hak hak, memakan hasil riba, memakan harta anak yatim, lari dari ajang pertempuran melawan musuh agama dan menuduh berbuat zina wanita-wanita mukmin yang terpelihara kehormatannya”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). 

Tentu saja dosa riba dapat disejajarkan dengan dosa pembunuhan, karena riba dapat menghancurkan dan meruntuhkan rumah tangga. Riba juga akan menanamkan dengki dalam hati, dan lain-lain yang akibatnya sama dengan perbuatan pembunuhan. 

 Islam mengharamkan riba, karena riba akan menciptakan suasana hubungan antar individu di dalam masyarakat berdasarkan pada hubungan materi yang tak ada jiwa kegotong-royongan. Selain itu norma-norma perikemanusiaan akan terinjak-injak karena sebagian orang akan hidup enak menjadi parasit bagi golongan lainnya, menyadap keuntungan dari hasil keringat mereka tanpa jerih payah. Begitu pula, riba merupakan rangsangan bagi orang-orang yang memiliki modal, untuk tidak menggunakan hartanya kecuali hanya dengan cara riba. Sebab jalan ini dianggap lebih banyak meraih keuntungan, dan jauh dari kemungkinan rugi. Di kala perbuatan riba sudah merajalela, maka macetlah segala proyek-proyek pembangunan dan perindustrian yang manfaatnya dapat dirasakan oleh setiap orang. Karena pada hakekatnya, uang bukan barang dagangan yang diperjualbelikan, dan bukan obyek yang dijadikan sasaran dalam kontrak jual beli. Uang adalah sarana untuk melakukan jual beli. Sedangkan sistem riba menjadikan uang sebagai obyek yang diperjualbelikan, sehingga memberikan support kepada pemilik modal untuk menimbun uangnya. Dan sebagai dampaknya ialah, seluruh proyek yang bermanfaat bagi rakyat akan terbengkalai, serta akan timbul pula keresahan dalam hati masyarakat yang terkadang akan bisa mengakibatkan timbulnya revolusi. 

Riba akan membuat pemilik modal bersikap pelit. Ia selalu berusaha untuk meraih keuntungan yang lebih banyak dengan cara menyetop beredarnya uang. Tentu saja hal ini akan membuat kaum pedagang dan industriawan makin membutuhkan modal guna kelangsungan usahanya. Sebaiknya situasi ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menaikkan bunga rentenya yang terkadang meningkat secara drastis. Sehingga orang-orang yang meminjam modal akan menderita banyak kerugian, bahkan terkadang bisa pula mengakibatkan perlakuan bunuh diri. 

 Dan tanpa dirasakan oleh para konsumen yang terdiri dari rakyat biasa, para pemilik modal mengambil bunga yang tidak langsung dan masuk ke dalam kantongnya sendiri. Hal ini disebabkan karena pra pedagang atau para industriawan sama sekali tidak mau membayar laba pinjamannya secara langsung. Namun, pembayarannya mereka bebankan kepada hasil produksi yang dibeli oleh para konsumen. Dengan cara meningkatkan harga produksinya mereka dapat menutupi bunga dari modal pinjamannya. Dengan demikian, beban kian bertambah bagi konsumen, dan yang menarik keuntungan hanyalah pemilik modal. 

Riba atau rente, dilihat dari sistem ekonomi, adalah sistem yang dicela. Hal ini dilakukan pula oleh sebagian ahli-ahli ekonomi negara-negara Barat. Seorang ahli ekonomi Jerman bernama Dr. Sacht, bekas direktur Reich Bank telah memberikan penjelasannya ketika berkunjung ke Damaskus pada tahun 1953: “Dengan melalui perhitungan matematik yang mendetail, terbukti bahwa uang yang beredar di seluruh dunia, pada akhirnya akan menjadi milik segelintir para pemilik modal yang menjalankan sistem riba. Sebabnya ialah karena pemilik modal selalu beruntung, sedangkan orang yang hutang terkadang mengalami laba atau terkadang rugi. Oleh karena itu, berdasarkan perhitungan matematik, uang akan kumpul di pihak yang selamanya memperoleh keuntungan. Dan memang, pernyataan yang saya kemukakan ini benar-benar sedang berjalan menuju sasarannya. Terbukti sekarang, bahwa sebagian besar uang yang sekarang beredar di dunia adalah milik pihak-pihak yang melakukan sistem riba atau yang menguasai perbankan. 

Melihat dampak negatif ini, maka Islam mengharamkan riba. Dan masyarakat mana saja yang melakukan riba adalah masyarakat yang terkutuk, dimusuhi oleh Allah dan dijauhkan dari rahmat Allah. 

Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman. Maka jika kamu mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. 2 : 278 – 279). 

Barangkali, umat manusia di sepanjang sejarah belum pernah mencapai puncak kemajuan dalam bidang sain dan teknologi seperti apa yang dicapai pada masa sekarang ini. Tetapi merupakan bukti yang nyata pula, bahwa umat manusia disepanjang sejarah, belum pernah mengalami kegoncangan-kegoncangan dan kerusuhan situasi seperti apa yang terjadi pada masa sekarang ini. 

Bukankah semuanya itu merupakan bukti dari Allah yang telah dijanjikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu peperangan dari Allah. Penyebab utamanya tiada lain karena mereka telah keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh-Nya. Dan karena mereka menjadikan riba sebagai asas hubungan mu’amalat. Maka celakalah apabila umat manusia mendapat ancaman perang dari Allah. 

Islam adalah suatu tatanan yang lengkap lagi sempurna. Ketika Islam mengharamkan riba, maka Islam melandasi ajarannya dengan prinsip-prinsip yang menjauhi riba. Sudah menjadi kewajiban bagi negara Islam, memberi pinjaman kepada orang-orang yang membutuhkan modal. Dan lebih jauh dari itu, harus pula menyiapkan persediaan guna menutupi kebutuhan mereka yang mau meminjam secara tidak berlebihan; atau orang-orang yang terdesak karena kebutuhan sehari-hari kemudian tidak mampu mengembalikan hutangnya. Dalam keadaan seperti ini, Islam telah menetapkan jalur tertentu guna menanggulangi kasus semacam ini dengan melalui zakat. 

Selain itu, Islam menganjurkan kepada kaum muslimin, agar saling bahu-membahu dalam hal kebajikan dan ketaqwaan. Sebagai pengejawantahan dari anjuran ini, kaum muslim dituntut untuk mendirikan lembaga-lembaga bantuan atau bank-bank non rente sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat. 

Apa yang terjadi sekarang di kalangan negara-negara Islam, yang melalaikan ajaran-ajarannya, dan lebih senang berhubungan dengan bank-bank yang memakai sistem rente, menimbulkan banyak pertanyaan. Kalau keadaan sudah seperti ini, bagaimana dengan sikap Islam? Salah seorang ulama Al-Azhar (Syekh ‘Ali Al-Khafif ) menjawab pertanyaan ini : “Adapun mengenai laba uang simpanan di bank, Muktamar Pembahasan Masalah Islam ke dua telah memutuskan, bahwa uang itu hukumnya haram dan tidak boleh diambil”. Kemudian salah seorang bertanya kepada beliau: “Apakah seorang pemilik saham harus meninggalkan begitu saja laba simpanannya di bank?” 

Beliau lalu menjawab : “Menurut pendapatku, apabila laba tersebut dibiarkan saja tidak diambil, keadaan musuh-musuh Islam akan bertambah kuat dan bunga yang tidak diambil akan dijadikan sarana untuk menekan kaum muslimin. Dalam keadaan seperti ini, bunga itu boleh diambil. Tetapi bukan untuk dimiliki sendiri, tetapi harus dibelanjakan kepada sesuatu yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Karena pada asalnya dimaksud untuk memperkuat posisi umat Islam.”

Posting Komentar untuk "Sifat Riba (Rentenir) dalam Ajaran Islam"